Abad ke 7-13 M
Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Indonesia 1500
Oleh
Kholish Hafid
NIM 110110301001
Ilmus
ejarah
Fakultas
Sastra
Universitas
jember
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kerajaan
Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan maritim terbesar dan berpengaruh yang pernah ada di Indonesia 7-13 M, telah
kita ketahui bersama bahwasanya Indonesia dulu sebelum masa kolonial merupakan
Negara yang terdapat kerajaan-kerajaan di dalamnya hal ini sangatlah dapat
menunjukkan betapa sebuah kerajaan telah menjadi simbol satu kesatuan Negara
sebelum kolonialisme terbukti daerah kekuasaan Sriwijaya sangat luas mulai dari
Kamboja, Thailan selatan, semenanjung Malaya, sumatera, Jawa dan pesisir
Kalimantan, mengigat kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan bahari yang terdapat
di sumatera dan sama seperti kerajaan lainnya terdapat masa kejayaan dan
sebab-sebab keruntuhannya, namun sayangnya jarang di temukan catatan lanjut
mengenai sriwijaya bahkan oleh orang Indonesia sendiri malahan masa lalunya
hampir terlupakan. Dan baru di kemukaan kembali melalui publikasi pada tahun
1918 oleh sejarawan perancis George Cœdès
dari École française d'Extrême-Orient.[1]
Maka dari hal tersebut seharunya kita sebagai masyarakat Indonesia selayaknya
mengetahui sejarah kerajaan-kerajaan kita sendiri agar dapat mengambil contoh
dari sisi positif sebagai acuan membangun pribadi secara khusus dan Indonesia
secara umum.
B.
Rumusan
Masalah
A. Bagaimana
awal mula terbentukan kerajaan Sriwijaya.
B. Bagaimana
system perekonomian kerajaan Sriwijaya.
C. Bagaimana
masa-masa kejayaan kerajaan Sriwijaya.
D. Bagaimana
runtuhnya kerajaan Sriwijaya.
BAB II
PEMBASAN
A.
Awal
mula Terbentuknya Kerajaan Sriwijaya
Menurut
I Tsing kerajaan Sriwijaya telah ada sejak 671, sedangkan berdasarkan prasasti Kedukan bukit kerajaan
ini telah dipinpin Dapunta Hyang pada
tahun 682.[2]
Pada abad ke-7 ini para golongan tionghoa mencatat ada dua kerajaan yaitu
melayu dan kedah dan telah menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya. Sedangkan
berdasarkan prasasti kota kapur yang berangka tahun 686 ditemukan dipulau
Bangka kerajaan sriwijaya ini telah menguasai bagian selatan sumatera, pulau
Bangka dan Belitung, hingga Lampung.[3]
Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa
telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak
berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara
di Jawa Barat dan Holing (Kalingga)
di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan
yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara.
Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka,
Selat Sunda,
Laut China Selatan, Laut Jawa,
dan Selat Karimata, tidak dapat
dibayangkan betapa masyhurnya kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Untuk
menggambarkannya, Wang Gungwu
mengatakan: “Pada tahun 775, kerajaan ini telah menjadi begitu masyhur sehingga
hanya raja-raja yang dipertuan dari Sriwijaya, raja tertinggi di antara semua
raja di permukaan bumi”[4]
Ekspansi
kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan
dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan
reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand
dan Kamboja.
Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak
pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu
melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura
di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8
berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas
Kamboja, sampai raja Khmer
Jayawarman II, pendiri kemaharajaan
Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama. Di akhir abad
ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara
dan Holing
berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa
Sailendra
bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula,
Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan
Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di
bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah
Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada
periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis,
Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk
memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia
membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun
825
B.
Sistem
Perekonomian Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan
Sriwijaya memiliki letak yang strategis di jalur pelayaran dan perdagangan
internasional Asia Tenggara, dengan letak yang strategis tersebut maka
sriwijaya berkembang menjadi pusat perdagangan dan menjadi pelabuhan Transito
sehingga dapat menimbun barang dari dalam maupun luar. Dengan demikian
kedudukan Sriwijaya dalam perdagangan internasional sangat baik, hal ini juga
didukung oleh pemerintahan raja yang cakap dan bijaksana, pada masanya kerajaan
Sriwijaya memiliki armada laut yang kuat yang mampu menjamin keamanan di jalur-jalur
pelayaran yang menuju Sriwijaya, Seorang penulis Belanda, J.C.Van Leur, malah mengatakan
bahwa: “untuk memperkuat angkatan laut dalam usaha mempertahankan perdagangan
mereka, Sriwijaya melakukan tindakan-tindakan khusus untuk perang dan apabila
mereka hendak berperang melawan negara lain, mereka mengumpul dan kemudian
merujuk kepada ketua-ketua mereka dan semua menyiapkan persediaan militer
sendiri dan bahan-bahan makan yang diperlukan”.[5] banyak
pedagang dari luar yang singgah dan berdagang di wilayah kerajaan Sriwijaya,
dengan adanya pedagang-pedagang dari luar yang singgah maka penghasilan
Sriwijaya meningkat dengan pesat. Peningkatan diperoleh dari pembayaran upeti,[6]
pajak maupun keuntungan dari hasil perdagangan dengan demikian Sriwijaya
berkembang menjadi kerajaan besar dan makmur, Kerajaan Sriwijaya berhasil
membangun pangkalan-pangkalan ekonomi dan merangsang semangat rakyatnya
berniaga dengan bangsa asing, sehingga: “pada awal sejarah Sriwijaya yang
panjang itu, pelabuhan-pelabuhan Palembang dan Jambi merupakan penghubung di
antara Sumatera dengan pasar-pasar Asia. Sistem komunikasi yang menjadi dasar
perkembangan pelabuhan-pelabuhan ini telah dicipta oleh nakhoda kapalnya. Masa
depan sistem itu tidak bergantung kepada kekayaan pedalaman Sumatera Selatan,
tetapi bergantung kepada kemampuan para pemerintahnya untuk memastikan agar
pelabuhan-pelabuhan tetap menjadi tempat yang mesti disinggahi dalam pelayaran
ke negeri Cina.[7]
Kejayaan
bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur
yaitu menggambarkan Kapal Borobudur,
kapal kayu bercadik
ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8
Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu.
Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia
dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero
Asia Tenggara, Oseania,
dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik
yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang
digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya,
kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13
masehi.
Selain
menjalin hubungan dagang dengan India
dan Tiongkok,
Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan
tanah Arab. Keberhasilan dalam bidang ekonomi tidak terlepas
daripada kemampuan mengadakan hubungan perdagangan dan diplomatik dengan negara
lain, seperti dilukiskan di sini: “Sejak abad ke-5 lagi, Kerajaan Sriwijaya
sudah mempunyai hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Cina. Hampir setiap
tahun para saudagar menaiki kapal barang ke Canton”[8].Kemungkinan
utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan
surat kepada khalifah
Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah
tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita
berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih
dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan
hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).
Pada
paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song,
perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian,
kerajaan Min
dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong.
Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
C.
Masa
kejayaan kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya
memang tidak ada habis-habisnya. Kali ini kita akan membahas mengenai masa-masa
keemasan kerajaan Sriwijaya. Kita akan meniliknya dari berbagai sumber sejarah
yang valid. Berdasarkan catatan I Tsing, pendeta asal Tiongkok yang berkunjung
ke Sriwijaya, kerajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 masehi. Menurut keterangan
prasasti Kedukan Bukit, pada tahun 682 kerajaan Sriwijaya dipimpin oleh Dapunta
Hyang. Tercatat oleh para pedagang Tiongkok bahwa ada dua kerajaan besar di
selat Malaka yakni Malayu dan Kedah menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya.
Dalam
prasasti Kota Kapur yang memiliki tahun pembuatan 686 dan ditemukan di pulau
Bangka, pada tahun tersebut kerajaan Sriwijaya telah menguasai bagian barat
Sumatera, pulau Bangka dan Belitung hingga Lampung. Sriwijaya memang termasuk
dalam kerajaan maritim yang tangguh. Salah satu bukti bahwa kerajaan Sriwijaya
adalah kerajaan yang tangguh, kaya dan kuat adalah adanya armada angkatan laut
yang memberikan perlindungan kepada negara-negara lain karena Sriwijaya
memiliki banyak negara bawahan.
Luasnya
daerah kekuasaan yang dimiliki tentu saja membuat Sriwijaya
memiliki banyak nama. Orang Tiongkok saja menyebutnya dalam tiga nama yang
berbeda, tergantung dialek mereka seperti Shih Li Fo Shih atau San Fo Tsi atau
San Fo Qi. Dalam bahasa Sansakerta disebut sebagai Yavadesh, sedangkan dalam
bahasa Pali disebut sebagai Javadeh. Bangsa Arab menyebut kerajan ini Zabaj,
sedangkan orang Khmer menyebutnya Malayu. Nama yang banyak ini merupakan alasan
kenapa Sriwijaya sulit ditemukan.
Ada
bukti lain mengenai kerajaan Sriwijaya yang disebut sebagai kerajaan kaya raya.
Berita arab yang berasal dari Ibnu Nordadzbeh yang bertahun 844-648 masehi
mengatakan bahwa Raja Zabaj (Sriwijaya) disebut sebagai maharaja yang
kekuasaannya meliputi pulau-pulau yang ada di lautan Timur. Hasil negeri ini
berupa kapur barus. Gajah juga ada banyak disana. Menurut Ibn Roteh pada 903
masehi mengatakan bahwa Maharja Zabaj merupakan raja terkaya jika dibandingkan
dengan raja-raja di India. Ibn Zayd pada 916 masehi mengatakan bahwa Maharaja
Zabaj setiap hari melemparkan segumpal emas ke danau dekat istana.
Sriwijaya
melakukan ekspansi wilayah ke banyak daerah sejak abad ke-7 masehi. Ekspansi
yang dilakukan bertujuan untuk kemakmuran rakyatnya. Ekspansi ini meliputi Jawa
dan Semenanjung Malaya sehingga mengontrol dua jalur pelayaran terbesar kala
itu, Selat Malaka dan Selat Sunda yang mana merupakan jalur perdagangan penting
di dunia. Pemasukan terbesar adalah bea cukai yang dikenakan pada setiap kapal
dagang yang singgah. Hal ini memberikan pemasukan yang tidak sedikit bagi
kerajaan.
Pada
masa kekuasaan raja Samaratungga, yakni pada tahun 795 hingga 835, ekspansi
militer Sriwijaya sudah berkurang. Samaratungga lebih banyak menghabiskan
sumber daya untuk memperkuat penguasaan kerajaan di Jawa. Pada masa
kepemimpinan Samaratungga inilah candi Borobudur yang sangat megah itu dibangun
dan selesai pada tahun 825 masehi. Saat ini candi Borobudur merupakan salah
satu peninggalan kerajaan Sriwijaya yang masih bisa kita lihat keberadaannya
D.
Runtuhnya
kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya
memang kerajaan yang sangat besar. Kerajaan ini mampu menjadi kerajaan maritim
yang hebat. Banyak para ahli sejarah menyebut kerajaan Sriwijaya adalah
kerajaaan yang sangat mempengaruhi peradaban Asia Tenggara. Namun, tiada gading
yang tak retak. Kerajaan ini dapat mengalami kemunduran, bahkan keruntuhan. Hal
ini mungkin dapat menjadi pelajaran bagi kita bahwa setiap sesuatu besar pasti
mengalami kejatuhan.
Kerajaan
Sriwijaya pada saat itu diserang oleh kerajaan yang dipimpin oleh Raja
Cholamandala. Dua kerajaan itu bertempur dengan sangat sengit. Serangan Raja
Cholamandala sangat kuat. Akibat serangan yang begitu kuat itu, kerajaan
Sriwijaya mengalami kemunduran dalam peperangan. Serangan Raja Cholamandala itu
membuat kerajaan Sriwijaya menjadi sangat lemah.[9]
Serangan itu juga mengakibatkan kebangkitan kerajaan Melayu-Jambi menjadi lebih
kuat.
Sebelumnya,
kerajaan Melayu-Jambi berada di bawah kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Pada saat
kerajaan Sriwijaya sedang mengalami kejayaan, kerajaan Melayu-Jambi mempunyai
kekuasaan yang lemah dan selalu kalah bersaing dengan kerajaan Sriwijaya. Akan
tetapi, kerajaan Melayu-Jambi menjadi berkembang saat kerajaan Sriwijaya
diserang oleh raja Cholamandala. Kerajaan Melayu-Jambi tentunya menyusun
kekuatan secara perlahan-lahan untuk memperluas pengaruhnya.
Seiring
perkembangan kerajaan Melayu-Jambi yang pesat pasca diserang Raja Cholamandala,
wilayah kerajaan Sriwijaya direbut oleh kerajaan Melayu-Jambi. Wilayah kerajaan
Sriwijaya semakin lama menjadi semakin kecil. Roda kekuasaan mulai berganti.
Kerajaan Melayu-Jambi mulai menjadi kerajaan yang cukup besar selagi kekuasaan
kerajaan Sriwijaya melemah. Kerajaan Sriwijaya mulai mengembalikan
kekuasaannya, namun kekuasaannya tidak seperti pada masa kejayaan kerajaan
Sriwijaya yang dulu.
Kerajaan
Sriwijaya mulai runtuh antara tahun 1178 dan 1225 karena ditaklukkan oleh
kerajaan Melayu-Jambi. Kerajaan Sriwijaya tersisih akan hal tersebut. Namun,
ada yang mengatakan juga bahwa kerajaan Sriwijaya mulai melemah sejak munculnya
agama Islam.[10]
Munculnya agama Islam dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh bagi
keruntuhan kerajaan Sriwijaya. Hal ini mungkin terbukti benar karena agama
Islam mampu mengganti peradaban Hindu-Budha yang kaya akan peninggalan
kebudayaan. Ajaran Islam juga sangat sederhana sehingga ajarannya mampu menarik
perhatian masyarakat Hindu-Budha kepada Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kerajaan
Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang
sangat berpengaruh pada masanya hal ini sangat jelas berdasarkan
bukti-bukti prasasti yang menerangkan betapa luasnya kerajaan Sriwijaya,
perekomian kerajaan Sriwijaya tergolong
pesat perkembangannya Sriwijaya menjalin
hubungan dagang bukan hanya dengan bangsa India dan Tiongkok bahkan dengan
bangsa Arab.
Derah kekuasaan
sriwijaya meliputi Kamboja, Thailan selatan, semenanjung Malaya, sumatera, Jawa
dan pesisir Kalimantan, namun dengan seiring berjalannya waktu terjadi
penyerangan oleh raja Cholamandala dan sempat terjadi pertempuran sengit yang
akhirnya di menangkan oleh raja Chomandala, akibat dari serangan tadi Sriwijaya
mulai melemah kesempatan ini tidak di sia-siakan oleh kerajaan Melayu-Jambi
untuk merebut kembali daerah kekuasaannya sehingga daerah kekuasaan Sriwijaya
semakin menyempit hingga akhirnya kerajaan Sriwijaya runtuh antara tahun 1178 dan 1225. Kemungkinan besar
juga terdapat pengaruh dari kerajaan Majapahit yang pada waktu itu mulai besar.
Daftar
Pustaka
Irfan, Nia Kurnia Solihat, Kerajaan
Sriwijaya. Jakarta: 1983.
Slamet Muljana, Runtuhnya
kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara,
Yogyakarta: Lkis. 2005.
Slamet
Muljana, Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS. 2006.
Mansoer, Mohd Dahlan, Pengantar
Sejarah Nusantara Awal. Kuala Lumpur: 1979.
Izzah, Latifatul, Sejarah Indonesia Lama-1500, Jember: University press: 2010
[1] Cœdès, George (1918). "Le Royaume de
Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient 18 (6): 1-36.
[2] Slamet Muljana, 2006, Sriwijaya, (Yogyakarta:LKiS). hlm 137.
[3] Izzah, Latifatul, 2010, Sejarah Indonesia Lama-1500, (Jember:University
press). hlm 53.
[4] Wang Gungwu, 1958 , “The Nanhai trade: A study of early history
of Chinese trade in South China Sea”, Hlm 135.
[5] Chu Fan Chih, Indonesian trade and socities, Hlm 106.
[6] J.G Boeles, 1964, The King of Sri Dvaravati and His Regalia,
Hlm 114.
[7] Rockhill, “Notes on relations and trade of China”, Hlm 134-l 38.
[8] Prof. Wealtly, Golden Khersonese, Hlm 58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar