Minggu, 13 Januari 2013

Awal Kekuasaan Hingga Keruntuhan Sriwijaya Abad ke 7-13 M


Awal Kekuasaan Hingga Keruntuhan Sriwijaya
Abad ke 7-13 M  
Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Indonesia 1500








Oleh
Kholish Hafid
NIM 110110301001

Ilmus ejarah
Fakultas Sastra
Universitas jember
2013


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan maritim terbesar dan berpengaruh  yang pernah ada di Indonesia 7-13 M, telah kita ketahui bersama bahwasanya Indonesia dulu sebelum masa kolonial merupakan Negara yang terdapat kerajaan-kerajaan di dalamnya hal ini sangatlah dapat menunjukkan betapa sebuah kerajaan telah menjadi simbol satu kesatuan Negara sebelum kolonialisme terbukti daerah kekuasaan Sriwijaya sangat luas mulai dari Kamboja, Thailan selatan, semenanjung Malaya, sumatera, Jawa dan pesisir Kalimantan, mengigat kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan bahari yang terdapat di sumatera dan sama seperti kerajaan lainnya terdapat masa kejayaan dan sebab-sebab keruntuhannya, namun sayangnya jarang di temukan catatan lanjut mengenai sriwijaya bahkan oleh orang Indonesia sendiri malahan masa lalunya hampir terlupakan. Dan baru di kemukaan kembali melalui publikasi pada tahun 1918 oleh sejarawan perancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.[1] Maka dari hal tersebut seharunya kita sebagai masyarakat Indonesia selayaknya mengetahui sejarah kerajaan-kerajaan kita sendiri agar dapat mengambil contoh dari sisi positif sebagai acuan membangun pribadi secara khusus dan Indonesia secara umum.
B.     Rumusan Masalah
A.    Bagaimana awal mula terbentukan kerajaan Sriwijaya.
B.     Bagaimana system perekonomian kerajaan Sriwijaya.
C.     Bagaimana masa-masa kejayaan kerajaan Sriwijaya.
D.    Bagaimana runtuhnya kerajaan Sriwijaya.




BAB II
PEMBASAN
A.    Awal mula Terbentuknya Kerajaan Sriwijaya
Menurut I Tsing kerajaan Sriwijaya telah ada sejak 671, sedangkan  berdasarkan prasasti Kedukan bukit kerajaan ini telah dipinpin Dapunta Hyang  pada tahun 682.[2] Pada abad ke-7 ini para golongan tionghoa mencatat ada dua kerajaan yaitu melayu dan kedah dan telah menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya. Sedangkan berdasarkan prasasti kota kapur yang berangka tahun 686 ditemukan dipulau Bangka kerajaan sriwijaya ini telah menguasai bagian selatan sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung.[3] Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata, tidak dapat dibayangkan betapa masyhurnya kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Untuk menggambarkannya,  Wang Gungwu mengatakan: “Pada tahun 775, kerajaan ini telah menjadi begitu masyhur sehingga hanya raja-raja yang dipertuan dari Sriwijaya, raja tertinggi di antara semua raja di permukaan bumi”[4]
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825
B.     Sistem Perekonomian Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya memiliki letak yang strategis di jalur pelayaran dan perdagangan internasional Asia Tenggara, dengan letak yang strategis tersebut maka sriwijaya berkembang menjadi pusat perdagangan dan menjadi pelabuhan Transito sehingga dapat menimbun barang dari dalam maupun luar. Dengan demikian kedudukan Sriwijaya dalam perdagangan internasional sangat baik, hal ini juga didukung oleh pemerintahan raja yang cakap dan bijaksana, pada masanya kerajaan Sriwijaya memiliki armada laut yang kuat yang mampu menjamin keamanan di jalur-jalur pelayaran yang menuju Sriwijaya, Seorang penulis Belanda, J.C.Van Leur, malah mengatakan bahwa: “untuk memperkuat angkatan laut dalam usaha mempertahankan perdagangan mereka, Sriwijaya melakukan tindakan-tindakan khusus untuk perang dan apabila mereka hendak berperang melawan negara lain, mereka mengumpul dan kemudian merujuk kepada ketua-ketua mereka dan semua menyiapkan persediaan militer sendiri dan bahan-bahan makan yang diperlukan”.[5] banyak pedagang dari luar yang singgah dan berdagang di wilayah kerajaan Sriwijaya, dengan adanya pedagang-pedagang dari luar yang singgah maka penghasilan Sriwijaya meningkat dengan pesat. Peningkatan diperoleh dari pembayaran upeti,[6] pajak maupun keuntungan dari hasil perdagangan dengan demikian Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan besar dan makmur, Kerajaan Sriwijaya berhasil membangun pangkalan-pangkalan ekonomi dan merangsang semangat rakyatnya berniaga dengan bangsa asing, sehingga: “pada awal sejarah Sriwijaya yang panjang itu, pelabuhan-pelabuhan Palembang dan Jambi merupakan penghubung di antara Sumatera dengan pasar-pasar Asia. Sistem komunikasi yang menjadi dasar perkembangan pelabuhan-pelabuhan ini telah dicipta oleh nakhoda kapalnya. Masa depan sistem itu tidak bergantung kepada kekayaan pedalaman Sumatera Selatan, tetapi bergantung kepada kemampuan para pemerintahnya untuk memastikan agar pelabuhan-pelabuhan tetap menjadi tempat yang mesti disinggahi dalam pelayaran ke negeri Cina.[7]
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13 masehi.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan  tanah Arab. Keberhasilan dalam bidang ekonomi tidak terlepas daripada kemampuan mengadakan hubungan perdagangan dan diplomatik dengan negara lain, seperti dilukiskan di sini: “Sejak abad ke-5 lagi, Kerajaan Sriwijaya sudah mempunyai hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Cina. Hampir setiap tahun para saudagar menaiki kapal barang ke Canton[8].Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
C.    Masa kejayaan kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya memang tidak ada habis-habisnya. Kali ini kita akan membahas mengenai masa-masa keemasan kerajaan Sriwijaya. Kita akan meniliknya dari berbagai sumber sejarah yang valid. Berdasarkan catatan I Tsing, pendeta asal Tiongkok yang berkunjung ke Sriwijaya, kerajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 masehi. Menurut keterangan prasasti Kedukan Bukit, pada tahun 682 kerajaan Sriwijaya dipimpin oleh Dapunta Hyang. Tercatat oleh para pedagang Tiongkok bahwa ada dua kerajaan besar di selat Malaka yakni Malayu dan Kedah menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya.
Dalam prasasti Kota Kapur yang memiliki tahun pembuatan 686 dan ditemukan di pulau Bangka, pada tahun tersebut kerajaan Sriwijaya telah menguasai bagian barat Sumatera, pulau Bangka dan Belitung hingga Lampung. Sriwijaya memang termasuk dalam kerajaan maritim yang tangguh. Salah satu bukti bahwa kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan yang tangguh, kaya dan kuat adalah adanya armada angkatan laut yang memberikan perlindungan kepada negara-negara lain karena Sriwijaya memiliki banyak negara bawahan.
Luasnya daerah kekuasaan yang dimiliki tentu saja membuat Sriwijaya memiliki banyak nama. Orang Tiongkok saja menyebutnya dalam tiga nama yang berbeda, tergantung dialek mereka seperti Shih Li Fo Shih atau San Fo Tsi atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansakerta disebut sebagai Yavadesh, sedangkan dalam bahasa Pali disebut sebagai Javadeh. Bangsa Arab menyebut kerajan ini Zabaj, sedangkan orang Khmer menyebutnya Malayu. Nama yang banyak ini merupakan alasan kenapa Sriwijaya sulit ditemukan.
Ada bukti lain mengenai kerajaan Sriwijaya yang disebut sebagai kerajaan kaya raya. Berita arab yang berasal dari Ibnu Nordadzbeh yang bertahun 844-648 masehi mengatakan bahwa Raja Zabaj (Sriwijaya) disebut sebagai maharaja yang kekuasaannya meliputi pulau-pulau yang ada di lautan Timur. Hasil negeri ini berupa kapur barus. Gajah juga ada banyak disana. Menurut Ibn Roteh pada 903 masehi mengatakan bahwa Maharja Zabaj merupakan raja terkaya jika dibandingkan dengan raja-raja di India. Ibn Zayd pada 916 masehi mengatakan bahwa Maharaja Zabaj setiap hari melemparkan segumpal emas ke danau dekat istana.
Sriwijaya melakukan ekspansi wilayah ke banyak daerah sejak abad ke-7 masehi. Ekspansi yang dilakukan bertujuan untuk kemakmuran rakyatnya. Ekspansi ini meliputi Jawa dan Semenanjung Malaya sehingga mengontrol dua jalur pelayaran terbesar kala itu, Selat Malaka dan Selat Sunda yang mana merupakan jalur perdagangan penting di dunia. Pemasukan terbesar adalah bea cukai yang dikenakan pada setiap kapal dagang yang singgah. Hal ini memberikan pemasukan yang tidak sedikit bagi kerajaan.
Pada masa kekuasaan raja Samaratungga, yakni pada tahun 795 hingga 835, ekspansi militer Sriwijaya sudah berkurang. Samaratungga lebih banyak menghabiskan sumber daya untuk memperkuat penguasaan kerajaan di Jawa. Pada masa kepemimpinan Samaratungga inilah candi Borobudur yang sangat megah itu dibangun dan selesai pada tahun 825 masehi. Saat ini candi Borobudur merupakan salah satu peninggalan kerajaan Sriwijaya yang masih bisa kita lihat keberadaannya
D.    Runtuhnya kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya memang kerajaan yang sangat besar. Kerajaan ini mampu menjadi kerajaan maritim yang hebat. Banyak para ahli sejarah menyebut kerajaan Sriwijaya adalah kerajaaan yang sangat mempengaruhi peradaban Asia Tenggara. Namun, tiada gading yang tak retak. Kerajaan ini dapat mengalami kemunduran, bahkan keruntuhan. Hal ini mungkin dapat menjadi pelajaran bagi kita bahwa setiap sesuatu besar pasti mengalami kejatuhan.
Kerajaan Sriwijaya pada saat itu diserang oleh kerajaan yang dipimpin oleh Raja Cholamandala. Dua kerajaan itu bertempur dengan sangat sengit. Serangan Raja Cholamandala sangat kuat. Akibat serangan yang begitu kuat itu, kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran dalam peperangan. Serangan Raja Cholamandala itu membuat kerajaan Sriwijaya menjadi sangat lemah.[9] Serangan itu juga mengakibatkan kebangkitan kerajaan Melayu-Jambi menjadi lebih kuat.
Sebelumnya, kerajaan Melayu-Jambi berada di bawah kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Pada saat kerajaan Sriwijaya sedang mengalami kejayaan, kerajaan Melayu-Jambi mempunyai kekuasaan yang lemah dan selalu kalah bersaing dengan kerajaan Sriwijaya. Akan tetapi, kerajaan Melayu-Jambi menjadi berkembang saat kerajaan Sriwijaya diserang oleh raja Cholamandala. Kerajaan Melayu-Jambi tentunya menyusun kekuatan secara perlahan-lahan untuk memperluas pengaruhnya.
Seiring perkembangan kerajaan Melayu-Jambi yang pesat pasca diserang Raja Cholamandala, wilayah kerajaan Sriwijaya direbut oleh kerajaan Melayu-Jambi. Wilayah kerajaan Sriwijaya semakin lama menjadi semakin kecil. Roda kekuasaan mulai berganti. Kerajaan Melayu-Jambi mulai menjadi kerajaan yang cukup besar selagi kekuasaan kerajaan Sriwijaya melemah. Kerajaan Sriwijaya mulai mengembalikan kekuasaannya, namun kekuasaannya tidak seperti pada masa kejayaan kerajaan Sriwijaya yang dulu.
Kerajaan Sriwijaya mulai runtuh antara tahun 1178 dan 1225 karena ditaklukkan oleh kerajaan Melayu-Jambi. Kerajaan Sriwijaya tersisih akan hal tersebut. Namun, ada yang mengatakan juga bahwa kerajaan Sriwijaya mulai melemah sejak munculnya agama Islam.[10] Munculnya agama Islam dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh bagi keruntuhan kerajaan Sriwijaya. Hal ini mungkin terbukti benar karena agama Islam mampu mengganti peradaban Hindu-Budha yang kaya akan peninggalan kebudayaan. Ajaran Islam juga sangat sederhana sehingga ajarannya mampu menarik perhatian masyarakat Hindu-Budha kepada Islam.

 
 

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang  sangat berpengaruh pada masanya hal ini sangat jelas berdasarkan bukti-bukti prasasti yang menerangkan betapa luasnya kerajaan Sriwijaya, perekomian  kerajaan Sriwijaya tergolong pesat perkembangannya  Sriwijaya menjalin hubungan dagang bukan hanya dengan bangsa India dan Tiongkok bahkan dengan bangsa Arab.
Derah kekuasaan sriwijaya meliputi Kamboja, Thailan selatan, semenanjung Malaya, sumatera, Jawa dan pesisir Kalimantan, namun dengan seiring berjalannya waktu terjadi penyerangan oleh raja Cholamandala dan sempat terjadi pertempuran sengit yang akhirnya di menangkan oleh raja Chomandala, akibat dari serangan tadi Sriwijaya mulai melemah kesempatan ini tidak di sia-siakan oleh kerajaan Melayu-Jambi untuk merebut kembali daerah kekuasaannya sehingga daerah kekuasaan Sriwijaya semakin menyempit hingga akhirnya kerajaan Sriwijaya runtuh  antara tahun 1178 dan 1225. Kemungkinan besar juga terdapat pengaruh dari kerajaan Majapahit yang pada waktu itu mulai besar.


Daftar Pustaka
Irfan, Nia Kurnia Solihat, Kerajaan Sriwijaya. Jakarta: 1983.
Slamet Muljana, Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, Yogyakarta: Lkis. 2005.
Slamet Muljana, Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS. 2006.
Mansoer, Mohd Dahlan, Pengantar Sejarah Nusantara Awal. Kuala Lumpur: 1979.
Izzah, Latifatul, Sejarah Indonesia Lama-1500, Jember: University press: 2010


[1] Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient 18 (6): 1-36.
[2] Slamet Muljana, 2006, Sriwijaya, (Yogyakarta:LKiS). hlm 137.
[3] Izzah, Latifatul, 2010, Sejarah Indonesia Lama-1500, (Jember:University press). hlm 53.
[4] Wang Gungwu, 1958 , “The Nanhai trade: A study of early history of Chinese trade in South China Sea”, Hlm 135.
[5] Chu Fan Chih, Indonesian trade and socities, Hlm 106.
[6] J.G Boeles, 1964, The King of Sri Dvaravati and His Regalia, Hlm 114.
[7] Rockhill, “Notes on relations and trade of China”, Hlm 134-l 38.
[8] Prof. Wealtly, Golden Khersonese, Hlm 58
[9] Nia Kurnia Solihat Irfan, Kerajaan Sriwijaya, (Jakarta, 1983). hlm. 95
[10] Mohd. Dahlan Mansoer, Pengantar Sejarah Nusantara Awal, (Kuala Lumpur, 1979). hlm. 132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar