Minggu, 13 Januari 2013

DAERAH OTONOM PADA MASA KERAJAAN MATARAM KUNO


DAERAH OTONOM PADA MASA KERAJAAN MATARAM KUNO
MAKALAH








Oleh
M.Nawafillu Rohman
110110301027
Ilmu Sejarah
 Fakultas Sastra
Universitas Negeri Jember
2013


A. Pengantar
Diketahui bahwa Kerajaan Mataran Kuno adalah kerajaan agraris yang berada di daerah pedalaman, keadaan ini ternyata berhubungan erat dengan isi prasasti-prasasti yang dikeluarkannya[1], yaitu sebagian besar berhubungan dengan masalah-masalah tentang perubahan status tanah. Permasalahan tersebut antara lain adalah adanya penetapan suatu daerah menjadi berstatus sîma.
Berdasarkan data prasasti, masyarakat Jawa Kuno itu mengenal daerah otonom sebagai daerah sîma atau daerah swatantra, atau pada masa yang lebih muda lagi sering disebut sebagai daerah perdikan (Schrieke, 1975; Machi Suhadi, 1981).Daerah yang berstatus sîma itu selalu diistimewakan oleh pihak kerajaan dengan dikukuhkannya suatu prasasti di tempat tersebut disertai dengan upacara yang megah dengan dihadiri dan disaksikan oleh para pejabat kerajaan dan pejabat daerah setempat serta penduduk sekitar (Timbul Haryana, 1980).Keputusan yang telah ditetapkan oleh raja terhadap suatu daerah yang menjadi daerah otonom itu berlangsung selama-lamanya yang dikukuhkan dalam prasasti dengan istilah dlaha ning dlaha.Penetapan suatu daerah menjadi berstatus otonom ini sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat Jawa Kuna, sehingga mereka sering berlomba-lomba untuk memajukan potensi daerahnya agar dapat memiliki status otonom yang bergengsi itu.
B. Rumusan Masalah
1. Jika ditarik benang merah antara daerah otonom pada jaman Jawa Kuno dengan pada jaman sekarang, maka permasalahan yang muncul dalam wacana ini adalah apakah daerah sîma itu?
2. Bagaimana pula kedudukan dan fungsi daerah tersebut terhadap kelangsungan kerajaan yang membawahinya?
3. Mengapa daerah itu diistimewakan dengan penetapan prasasti dan upacara yang megah?
4. Apakah daerah tersebut mempunyai kesamaan dengan daerah otonom yang dikenal sekarang?
C. Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dalam upaya untuk mendapatkan data dan fakta yang ada di lapangan.Langkah pertama pada metode sejarah adalah heuristik atau pengumpulan sumber. Mengingat data yang dibutuhkan berupa prasasti yang berisi tentang daerah sîma pada masa Kerajaan Mataram Kuna yang dibuat sekitar abad VIII – XI M, maka data-data tersebut “digali” di Museum Nasional Jakarta maupun pada Perpustakaan Nasional di Jakarta. Pada dua tempat itu prasasti-prasasti yang dibutuhkan dicari melalui daftar inventarisasi prasasti.Sebelumnya, para peneliti harus mengetahui kata kunci yang harus dicari pada prasasti-prasasti itu, yaitu adanya istilah sîma atau swatantra.Tahap kedua adalah melakukan kritik sumber, yaitu memilih dan menentukan sumber yang relevan dengan penelitian, serta yang tidak relevan dengan penelitian.Pada tahab ini dilakukan juga penterjemahan sumber untuk mengetahui relevansi data.Selanjutnya dilakukan interpretasi untuk mensintesiskan segala fakta yang terdapat di lapangan. Langkah terakhir adalah historiografi, yaitu proses penulisan segala fakta yang ada menjadi sebuah tulisan sejarah.
D. Pembahasan
Sejarah Indonesia Kuno adalah suatu babakan sejarah yang mempelajari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia pendukungnya pada jaman keemasan pengaruh agama Hindu dan Buddha, yaitu sejak jaman Kerajaan Kutai pada abad IV M hingga keruntuhan Kerajaan Majapahit pada abad XV M. Di dalam penulisan Sejarah Indonesia Kuna banyak digunakan sumber-sumber sejarah baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sumber dari dalam negeri lebih banyak digunakan karena memuat keterangan sejarah yang berasal dari bangsa sendiri, sehingga dapat memberi gambaran yang lebih jelas dan data yang disajikan dapat lebih mudah diterima.Beberapa sumber untuk menelusuri jejak-jejak aktivitas pada zaman itu adalah prasasti, berita asing sejaman (terutama dari Cina), kitab kesusastraan, dan artefak, khususnya relief pada dinding candi.
Sumber sejarah penting mengenai hubungan Cina-Indonesia dapat dilihat pada laporan yang ditulis oleh para pelancong atau sahabatnya. Contoh laporan dari musafir Buddha adalah laporan dari Fa Hsien, Hsüsan Tsang, dan I Tsing. Karya penting lain yang sekarang masih ada adalah Ling wai tai ta yang diterjemahkan pada tahun 1178 oleh Chou Ch’ü-fei; Chu fan chih berikut kata pengantar bertahun 1225 oleh Chao Ju-kua; dan Tao I chih lüeh yang diterbitkan kurang lebih pada tahun 1350 oleh Wang Ta-yuan. Naskah-naskah Cina yang membicarakan bangsa asing biasanya tidak sulit untuk dibaca. Kebanyakan naskah itu hanya memberikan sederetan nama dari negara-negara yang telah dikunjungi, dengan uraian singkat mengenai adat-istiadat dan produknya. Oleh karena itu, sangat mudah membedakan antara hal faktual itu dengan beberapa hal yang merupakan khayalan yang kadang-kadang timbul, misalnya cerita klise dalam Hsin t’ang shu tentang masa peralihan Ratu Sima dari Holing yang bijaksana, ketika “benda-benda yang hilang di jalan tidak dicuri orang,” atau dongeng-dongeng kuno yang diceritakan dalam Chu fan chih tentang San-fo-ch’i, yang pada waktu itu puluhan kerbau muncul dari suatu retakan bumi yang tiba-tiba tercipta serta lari bergerombol ke atas bukit.
Angka tahun yang diberikan oleh bermacam-macam laporan mengenai suatu peristiwa mungkin berlawanan, hal itu terjadi karena pencantumannya secara kronologis tergantung pada berbagai dokumen asli yang mencatat peristiwa itu. Dengan bukti itu, mungkin benar-benar dapat dibangun suatu rekonstruksi yang dapat diterima, misalnya yang telah terjadi secara memuaskan adalah rekonstruksi mengenai perjalanan Chêng Ho[2]. Kesulitan utama dalam menggunakan berita asing terletak pada identifikasi nama-nama geografi dan nama orang, terutama pada teks-teks tua dari masa sebelum Dinasti Sung, karena hanya ada sedikit sekali dokumen yang dapat menjelaskan negara yang bersangkutan. Ada dua cara untuk memperoleh identifikasi, pertama secara filologis, yaitu rekonstruksi bunyi kuno dari huruf Cina dengan bantuan fonologi sejarah, suatu metode yang lebih disukai oleh para Sinolog; kedua adalah secara geografis, yaitu rekonstruksi berdasarkan pada petunjuk tentang letak dan jarak yang diberikan oleh teks. Kesulitan dalam pengidentifikasian nama-nama itu terjadi karena ada perbedaan dalam memahami dan menuliskan bunyi-bunyi asing itu dalam tulisan masing-masing (Tjan Tjoe Som, 1995:167-177).
Contoh penulisan nama tempat berdasar lafal Cina misalnya Chan-pi untuk menyebut Jambi, Sun-to untuk menyebut Sunda, akan tetapi Ji-lo-ting, Cheng-mai, Pa-t’a, tidak diketahui secara pasti dimana letak geografis tempat-tempat itu (Poesponegoro, 1984:70). Sedangkan contoh penulisan nama orang berdasar lafal Cina misalnya Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tiau-hwa untuk menyebut Śrî Cûdãmaniwarmadewa, Yoh-na-p’o-to-lo untuk menyebut Jñanabhadra. Oleh karena itu, hasilnya akan tergantung pada banyak faktor, yaitu lafal yang tepat dan pendengaran yang cermat; daerah asal si pembicara, yang akan memberikan sifat tersendiri pada ucapannya; kedudukannya, yang akan menentukan apakah ia menggunakan nama resmi atau nama sehari-hari; daerah asal orang yang mendengarnya, yang akan menentukan cara meneruskan bunyi yang didengarnya; serta kedudukan si pendengar yang akan menentukan huruf yang digunakannya untuk menggambarkan bunyi-bunyi asing itu. Karena suatu alasan, beberapa huruf rupanya lebih mudah digunakan secara umum, bahkan jika huruf-huruf itu tidak menggambarkan bunyi-bunyi asing itu secara tepat.
Kitab kesastraan dapat digunakan sebagai sumber data dalam melacak jejak-jejak sejarah pada suatu masa tertentu. Seperti yang telah dilakukan oleh Berg, bahwa untuk melacak sejarah periode pertengahan abad ke-13 hingga abad ke-15, yaitu pada masa Kerajaan Singhasari hingga Kerajaan Majapahit, selain menggunakan prasasti digunakan pula sumber-sumber sastra.Peristiwa-peristiwa pada periode itu dikisahkan dalam Pararaton dan Babad Tanah Jawi. Kesulitan utama dalam menggunakan kitab kesastraan terletak pada adanya versi yang berlainan dan bahkan bertentangan tentang peristiwa yang sama dalam karya-karya itu. Misalnya, Nãgarakêrtãgama memberikan pandangan yang berbeda tentang Kêrtanagara jika dibandingkan dengan Pararaton, dan Kern berkesimpulan bahwa sang pujangga (Prapanca) atau kronik itu (Pararaton) tidak menyatakan yang sebenarnya. Akan tetapi, pengetahuan yang meningkat tentang agama dan kebudayaan dapat menjelaskan permasalahan ini. Artikel J.L. Moens (1974) menunjukkan bahwa zaman itu di Jawa dan Sumatra terdapat suatu bentuk tantrisme[3], pemujaan Bhairawa, yang dengan kepastian tertentu dapat ditempatkan di antara sejumlah besar sekte Budhisme Kãlacakratantra. Gambaran kematian Kertanagara yang begitu berbeda dalam Nãgarakêrtãgama dan Pararaton ternyata merupakan dua versi dari peristiwa yang sama. Dalam hal ini fakta bahwa Kêrtanagara meninggal ketika sedang mengikuti upacara-upacara tantri telah ditafsirkan dari sudut pandang-sudut pandang yang berbeda-beda.
Kesulitan utama dalam menggunakan kitab kesastraan sebagai sumber data terletak pada penggunaan bahasa yang berbunga-bunga dan cerita-cerita yang berbau mitos. Oleh karena itu, diperlukan data pembanding baik berupa prasasti, berita asing, maupun bentuk data yang lain. Misalnya tentang kemunculan tokoh Ken Angrok yang kemudian menandai munculnya wangsa Rãjasa atau wangsa Girîndra, sebuah wangsa yang berkuasa di Singhasari dan Majapahit. Satu-satunya sumber yang menjelaskan tentang asal-usul serta masa muda Ken Angrok adalah Pararaton atau Katutura nira Ken Angrok, yang ditulis pada akhir abad ke-15 dalam bentuk prosa dan penuh dengan cerita yang berbau mitos. Oleh karena itu, C.C. Berg tidak dapat menerima bahwa Ken Angrok sebagai tokoh sejarah, ia hanya menganggapnya sebagai tokoh mitos. Meskipun demikian ada sebuah prasasti yang keterangannya sesuai dengan Pararaton, yaitu prasasti Mûla-Malurung (1255 M).
Benda-benda arkeologis adalah benda hasil budaya manusia yang berbentuk fisik, dapat dilihat dan dapat diraba. Meskipun benda-benda tinggalan arkeologis ini tidak berupa tulisan, tetapi dapat juga digunakan sebagai data karena merupakan hasil aktivitas manusia yang dapat diinterpretasikan baik dari segi gagasan, maupun tindakan dari si pendukung budaya itu. Sebagai contoh, arca dapat digunakan untuk menunjukkan sifat keagamaan maupun tingkat kemajuan teknologi pembuatan arca. Berdasarkan jenis bahan arca, misalnya perunggu atau batu, tentunya hal ini akan memberikan informasi yang berbeda mengenai tingkat teknologinya. Selain arca, pada umumnya digunakan relief sebagai sumber data. Relief merupakan ungkapan nyata yang dapat dilihat dan diraba, yang berasal dari ide di dalam diri seniman pembuatnya.
Pada umumnya prasasti-prasasti itu merupakan semacam piagam untuk memperingati peristiwa penting pada suatu kerajaan, misalnya yupa di Kutai memperingati kedermawanan Raja Mulawarman dalam memberikan sumbangan untuk upacara-upacara keagamaan di kerajaannya. Adapun prasasti-prasasti yang ditemukan di Kerajaan Mataram Hindu sebagian besar berisi tentang penetapan sebidang tanah atau suatu daerah menjadi berstatus sima, yaitu daerah bebas pajak sebagai anugerah raja kepada seorang pejabat kerajaan; atau kepada rakyat yang telah berjasa kepada kerajaan; atau sebagai anugerah raja untuk kepentingan pendirian bangunan suci (Schrieke, 1975: 10-14). Penetapan sima baru pada umumnya dianggap sebagai peristiwa yang penting sekali, karena yang terjadi adalah perubahan kedudukan sebidang tanah yang dalam hubungan religio-magis di kalangan masyarakat Indonesia selalu terkait dengan yang mendiami tanah itu.
Prasasti-prasasti di Indonesia memiliki berbagai macam bentuk hurufdanbahasa, di antaranya adalah huruf Pallawa[4], Jawa Kuno, Pra-Nagari, dan Dewanagari.Sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Sansekerta, Melayu Kuno, Jawa Kuno, dan Bali Kuno.Pada kenyataannya huruf Pallawa masih dapat dibedakan menjadi Pallawa Awal atau Pallawa Kuna dan Pallawa Akhir atau Pallawa Muda.Sebagai contoh prasasti berhuruf Pallawa Kuna adalah prasasti-prasasti dari Kutai, prasasti-prasasti Purnavarmman dari Tarumanāgara, dan beberapa prasasti dari Kedah, Malaysia. Adapun contoh prasasti yang berhuruf Pallawa Muda adalah prasasti Tuk Mas dari Grabag, Jawa Tengah, prasasti-prasasti dari Sriwijaya, dan prasasti Canggal, Jawa Tengah. Prasasti-prasasti yang menggunakan huruf Pallawa itu pada umumnya menggunakan bahasa Sansekerta, kecuali prasasti dari Sriwijaya yang menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Prasasti-prasasti yang menggunakan huruf Jawa Kuna juga dapat dibedakan menjadi Jawa Kuna Awal (antara tahun 750 M - 950 M), Jawa Kuna Akhir (antara tahun 925 M – 1250 M), dan Jawa Kuna periode Majapahit (antara tahun 1250 M – 1450 M).Prasasti berhuruf Jawa Kuna Awal dibedakan menjadi dua, yaitu fase kuno (antara tahun 750 M – 856 M), dan prasasti Jawa Kuno yang merupakan bentuk standar (antara tahun 856 M – 925 M).Prasasti-prasasti yang berhuruf Jawa Kuna ini pada umumnya menggunakan bahasa Jawa Kuna.Akan tetapi, ada juga yang menggunakan bahasa Melayu Kuna seperti prasasti Bukateja, prasasti Gandasuli I (Sang Hyang Wintang) dan Gandasuli II (Dang Puhawang Glis).Adapun prasasti berhuruf Pra-Nagari (Siddham) dan huruf Dewanagari pada umumnya menggunakan bahasa Sansekerta.Sebagai contoh adalah prasasti Kelurak, dan prasasti Kalasan.
Prasasti-prasasti yang dikenal di Indonesia memiliki berbagai macam bentuk struktur.Berdasarkan jumlah kata dan kalimatnya dapat dibedakan menjadi prasasti panjang, sedang, dan pendek, bahkan ada prasasti yang hanya memuat satu kata atau angka tahun saja.Panjang pendeknya jumlah kalimat itu mempengaruhi bentuk struktur prasasti yang bersangkutan. Prasasti pendek pada umumnya terdiri dari dua sampai empat atau kurang dari sepuluh kata. Prasasti ini biasanya menyebut nama tokoh, tanda peringatan dan angka tahun dengan menggunakan candra sengkala. Prasasti sedang dan panjang pada umumnya berstruktur sama hanya perbedaannya terletak pada tujuan penulisan prasasti yang mempengaruhi panjangnya kalimat, adapun isinya biasanya tentang penetapan sebidang tanah menjadi berstatus sima. Ada juga beberapa prasasti yang berisi peringatan pembuatan bendungan, berisi putusan peradilan yang disebut jayapatra atau jayasong, atau berisi peringatan khusus lainnya.
Di dalam menggunakan prasasti sebagai sumber data sejarah, biasanya ditemukan angka tahun dan bulan yang dimuat dengan lengkap dan tepat, diikuti nama raja dan para pegawai tinggi kerajaan. Keterangan ini dapat memberikan kerangka kronologis untuk penulisan sejarah. Berdasar keterangan tersebut, dapat diperoleh informasi berapa lama masa pemerintahan seorang raja. Sementara itu, sebaran tempat ditemukannya prasasti dapat memberikan bayangan tentang luas daerah kekuasaan raja itu.
Dengan demikian, maka untuk menggali pengetahuan tentang daerah otonom pada masa Jawa Kuna kiranya tidak salah jika pisau yang digunakan adalah prasasti yang dikeluarkan oleh penguasa pemerintah sejaman. Dari pernyataan itu, maka dapat diketahui bahwa prasasti yang digunakan adalah prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Kerajaan Mataram Kuna pada sekitar abad VIII-XI M, dan bahasa serta tulisan yang digunakan di dalam prasasti itu adalah bahasa dan huruf Jawa Kuno.
Untuk memahami topik yang dibahas dalam penelitian ini, maka akan diuraikan terlebih dahulu tentang pengertian daerah otonom pada zaman kuna yang sering disebut sebagai daerah sīma, kemudian akan dibahas mengenai struktur birokrasi Kerajaan Mataram Kuna, agar dapat diketahui terlebih dahulu pembagian wilayah di Kerajaan Mataram Kuna beserta penguasanya yang berhak untuk mengeluarkan prasasti yang berisi tentang ketetapan berubahnya suatu daerah menjadi daerah sīma. Selanjutnya baru akan diuraikan tentang kedudukan dan fungsi daerah otonom pada masa Jawa Kuna, agar dapat diketahui perbedaannya dengan daerah otonom pada masa sekarang, untuk diambil suatu kesimpulan.
 Pengertian Daerah Sĩma
Telah diketahui bahwa Kerajaan Mataram Kuna adalah kerajaan agraris yang berada di daerah pedalaman yang berkuasa pada sekitar abad VIII-XI M, sehingga keadaan ini berhubungan dengan isi prasasti-prasasti yang dikeluarkan, yaitu banyak yang berhubungan dengan masalah-masalah tentang perubahan status tanah. Permasalahan tersebut antara lain adalah adanya penetapan suatu daerah menjadi berstatus sĩma.
Menurut prasasti Muňcang yang berangka tahun 944 M, baris ke 15-24, menyebutkan pengertian daerah otonom pada zaman kuna adalah sebagai berikut:
”… (Daerah itu) tidak didatangi lagi oleh para pejabat pemungut pajak yang terdiri atas tiga pegawai utama pemungut pajak, yaitu pangkur, tawan, dan tirip ; pinghai dan wahuta, serta oleh segenap anggota petugas pemungut pajak dalam waktu yang lama(diikuti dengan penyebutan anggotapetugas pemungut pajak)… Demikianlah keputusan yang telah ditetapkan, dan selanjutnya seluruh pejabat dan petugas pemungut pajak itu tidak diperkenankan untuk mendatangi daerah yang disebut sebagai sĩma di daerah Muňcang. Hanya kepada Sang Hyang Prasada Kabaktyan di Siddhayoga saja seluruh pajak itu diserahkan…”.
Berdasarkan isi prasasti Muňcang seperti tersebut di atas, maka dapat diketahui pengertian tentang daerah sĩma, yaitu sebutan bagi suatu daerah yang diberi kebebasan atas beban-beban kerajaan berupa pajak oleh seorang penguasa karena adanya alasan tertentu. Untuk selanjutnya daerah itu bersifat swatantra.
Kata swatantra pertama kali dijumpai pada prasasti Timbanan Wungkal baris ke 7-8 yang berangka tahun 196 Saňjaya atau tahun 912 M, yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Dakşa. Disebutkannya bahwa swatantra namanya jika tidak diganggu oleh seluruh anggotapetugas pemungut pajak( ”… swatantra ngaranya tan pinarabyāpāra deni saprākara sangmangilala drabya haji kabaih…”). Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa arti semula dari swatantra adalah tidak diganggu oleh seluruh anggotapetugas pemungut pajak, atau dengan kata lain dibebaskan dari pajak kerajaan sebagaimana ditunjukkan oleh isi prasasti itu pada baris ke 12-14 yang berbunyi sebagai berikut:
”… Demikianlah keputusan yang telah ditetapkan. Selanjutnya daerah Kabikuan di Timbanan Wungkal ini dinamakan daerah yang bebas dari pajak kerajaan…”. 
Untuk selanjutnya sifat swatantra[5] dari sebuh daerah sĩma ditunjukkan dengan hak-hak yang diperolehnya berupa pengalihan penerima pajak (drabyahaji) dan tenaga suka rela (gawayhaji), berhak mengelola atas denda akibat pelanggaran pidana (sukhaduhkha), serta berhak menikmati sebagian atau seluruh pajak usaha dan kerajinan (miçra paramiçra) seperti yang tertuang pada keputusan yang telah dituliskan pada prasasti Muňcang 944 M baris 24-26, prasasti Gulung-Gulung 929 M baris 25-28, dan prasasti Sugih Manĕk 915 M baris 27-28.
Berdasar isi informasi pada prasasti-prasasti tersebut di atas, maka pengertian daerah sĩma adalah sebutan bagi suatu daerah yang diberi kebebasan atas beban-beban kerajaan berupa pajak oleh seorang penguasa. Penguasa itu bisa jadi adalah seorang raja, rāka, atau samgat. Raja adalah seorang penguasa wilayah kerajaan, sehingga dia adalah tokoh nomor satu di dalam kerajaan itu. Dengan demikian, jika suatu daerah dianugerahi status sĩma oleh seorang raja, maka tentu daerah itu merupakan suatu daerah yang sangat istimewa bagi raja tersebut. Rāka atau rakai adalah penguasa wilayah watak, daerah bawahan kerajaan. Biasanya wilayah ini merupakan gabungan dari watak-watak yang lebih kecil atau merupakan pengelompokan desa-desa kecil. Sedangkan samgat merupakan singkatan dari jabatan keagamaan atau kehakiman yang bernama sang pamgat. Jabatan ini memungkinkan seseorang yang menyandangnya adalah sebagai seorang pemutus perkara atau hakim sekaligus sebagai seorang agamawan Hindu atau Buddha (Boechari, 1977:70).
Daerah yang ditetapkan sebagai daerah sĩma dapat berupa sebidang sawah, sebidang kebun, desa atau beberapa desa, taman, atau bahkan sebuah hutan dapat diberi status sĩma karena adanya alasan tertentu. Alasan dikeluarkannya status sĩma oleh penguasa pemerintah bermacam-macam. Ada daerah sĩma yang diperuntukkan bagi kepentingan keagamaan, sebagai balas jasa, sebagai perwujudan dari sifat-sifat belas kasih, pelindung, dan pengayom serta tanggungjawab raja untuk memakmurkan rakyatnya. Sedangkan pihak penerima anugerah sĩma adalah seorang pejabat atau beberapa orang pejabat atau seorang penduduk desa yang berjasa kepada raja, bangunan suci, bihara, atau pihak-pihak lainnya seperti yang tertulis pada prasasti-prasasti sezaman.
Di dalam prasasti makanan khusus tersebut disebut dengan istilah rājāmangça, yang terdiri atas wdus gunting (kambing guling), badawang (sejenis ikan), karung pulih (sejenis ikan), dan sebagainya. Tradisi kerajaan selain berupa makanan dapat juga berupa beberapa jenis corak kain yang diperkenankan, penggunaan payung berwarna kuning, atau beberapa perabot yang bentuknya seperti perabot di istana yang diperkenankan untuk digunakan oleh orang istimewa yang berjasa kepada raja itu.
Adapun kewajibannya adalah memelihara bangunan suci dan menunjukkan kepatuhannya kepada raja dengan berbagai cara, yaitu antara lain dengan menyelenggarakan upacara keagamaan satu kali dalam setahun 
2.Struktur Birokrasi Kerajaan Mataram Kuno
Struktur birokrasi Kerajaan Mataram Kuno dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan wilayahnya, yaitu struktur birokrasi menurut daerah pusat pemerintahan dan di daerah kerakaian. Hal ini terjadi, karena wilayah di kerajaan Mataram Kuna ini terbagi atas wilayah kerajaan, wilayah kerakaian, dan wanua.
A,Kerajaan Raja
Di daerah tingkat watak, birokrat tertinggi adalah Raja Daerah. Jabatan ini dapat diduduki oleh putra mahkota, atau para pangeran, atau pejabat tinggi tingkat pusat. Oleh karena itu, ia dapat bergelar haji, rakai, atau samgat atau pamgat. Ia memiliki beberapa orang yang membantunya seperti parujar (juru bicara), citralekha (juru tulis),pangurang (pemungut pajak), dan pitungtung ni parujar (kurir penghubung antara pejabat pusat dan daerah).Luas wilayah daerah tingkat watak mempengaruhi susunan birokrasinya, meliputi jumlah dan jenis pejabat sesuai dengan kebutuhan. Hal ini terlihat pada prasasti-prasasti dari Kerajaan Mataram Kuna yang tidak dapat menunjukkan keseragaman struktur birokrasi di tingkat watak
 Tugas dan kewajiban seorang raja (rãjadharmma) pada Kerajaan Mataram Kuna tertuang di dalam naskah Rãmãyana Kakawin, yaitu bagian yang merupakan ajaran Rãma kepada adiknya Bhãrata dan kepada Wibhîsana. Pada bagian ini dijumpai ajaran astabrata[6], perilaku yang delapan. Ajaran itu menyatakan bahwa di dalam diri seorang raja berpadu 8 dewa, yaitu Indra, Yama, Sûrrya, Soma, Wãyu, Kuwera, Waruna, dan Agni. Sebagai Indra, yang di dalam kitab ini masih dianggap sebagai dewa hujan, raja hendaknya selalu menghujankan anugerah kepada rakyatnya. Sebagai Dewa Yama (dewa kematian) ia harus menghukum para pencuri dan semua penjahat. Sebagai Dewa Sûrrya (dewa matahari) yang senantiasa menghisap air secara perlahan-lahan, raja hendaknya menarik pajak dari rakyatnya sedikit demi sedikit sehingga tidak memberatkan. Sebagai Dewa Soma (dewa Bulan), ia harus membuat bahagia seluruh dunia dengan senyumnya yang bagaikan amérta. Sebagai Dewa Wãyu (dewa Angin), ia dapat menyelusup ke tempat-tempat yang tersembunyi, raja harus selalu mengetahui hal ikhwal rakyatnya dan semua gejolak di kalangan berbagai lapisan masyarakat. Sebagai Kuwera (dewa Kekayaan), raja hendaknya menikmati kekayaan duniawi. Sebagai Waruna (dewa Laut) yang bersenjatakan jerat, raja haruslah menjerat semua penjahat. Dan sebagai Agni (dewa Api), ia harus membasmi semua musuhnya dengan segera. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa seorang raja harus berpegang teguh kepada dharmma, bersikap adil, menghukum yang bersalah
3. Kedudukan dan Fungsi Daerah Otonom pada Masa Jawa Kuna
A. Kedudukan Daerah Otonom pada Masa Jawa Kuna
Daerah sĩma yang merupakan daerah bebas yang baru dibentuk itu tidak lagi menjadi bagian dari wilayah hukum kerajaan, selanjutnya daerah itu merdeka dari wilayah kerajaan, karena berhak mengatur sendiri rumahtangga di dalam pemerintahan lokalnya dan pembiayaannya menggunakan penghasilan daerah itu sendiri. Segala jenis denda akibat tindak pidana dan seluruh pengurusan yayasan keagamaan, menjadi tanggungan pemegang hak istimewa itu, yang berwenang sebagai ”pemegang hak atas bagian raja” (paramāņa i sadrabya hajinya) (Schrieke, 1975:12-13). Daerah seperti itulah yang sekarang disebut sebagai daerah otonom.
Kedudukan daerah sĩma yang seperti tersebut di atas itu tidak boleh diganggu oleh siapa pun selama-lamanya (dlaha ning dlaha). Hal itu sering ditegaskan dalam sebuah prasasti bahwa siapa pun yang mengganggu hak-hak istimewa itu, akan menerima kutukan seperti yang diucapkan oleh sang makudur, dukun spiritual kerajaan, bahwa yang mengancam pelanggar ketentuan itu, siapapun dia, akan dikutuk dengan kematian yang mengerikan, menjadi penghuni neraka, dan akan menemui kelahiran kembali (reinkarnasi) yang nista.
Akan tetapi, sifat loba dan kepentingan diri sendiri seseorang sering dapat mengatasi ketakutan terhadap kutukan yang mengerikan itu. Oleh karena itu, dibentuklah Kitab Ãgama, Kitab Undang-Undang Jawa Kuna, untuk mengatur para pelanggar ketentuan raja itu dengan hukuman duniawi. Peraturan itu antara lain berbunyi:
Jika seseorang mencabut suatu tanda perbatasan daerah sĩmaatau menebangnya dengan kekerasan, maka orang itu terkena denda uang yang berat.
Siapa pun yang mengadakan perubahan dengan sewenang-wenang dalam hak-hak istimewa di daerah sĩma itu dihukum dengan denda uang tertinggi. Pemalsuan sebuah prasasti yang demikian itu diancam dengan hukuman mati.
 Adanya kitab hukum yang mengatur para pelanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh raja terhadap daerah sĩma itu menunjukkan bahwa kedudukan daerah sĩma itu sangat penting artinya bagi raja. Derah yang semula merupakan pengawasan wilayah watak, kemudian mendapat pengawasan secara langsung dari kerajaan. Oleh karena itu, raja sebagai penguasa seluruh wilayah kerajaan masih tetap berhak melindungi daerah itu yang meskipun telah diberi kemerdekaan. Hal itu ternyata serupa dengan kondisi daerah otonom pada Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat ini. Meskipun telah mendapatkan predikat sebagai daerah otonom, tetapi ada beberapa aturan yang masih mengacu pada pemerintahan pusat.Salah satu upaya pemerintah Kerajaan Mataram Kuna untuk mengetahui loyalitas masing-masing daerah bawahannya adalah dengan mengadakan pisowanan agung yang wajib dihadiri pada setiap bulan Caitra dan Asuji pada setiap tahun. Pada setiap dua bulan itu, setiap penguasa daerah bawahan diwajibkan hadir sambil membawa upeti dari masing-masing daerahnya. Ketidakhadiran salah seorang di antaranya menandakan telah terjadi suatu gejolak politik yang dapat membahayakan posisi raja. Oleh karena itu, raja harus waspada untuk mengawasi daerah itu.
 B. Fungsi Daerah Otonom pada Masa Jawa Kun
Pada pembahasan tentang struktur birokrasi di atas, telah dibahas pula tentang pembagian wilayah di Kerajaan Mataram Kuna, diantaranya adalah daerah kerajaan, daerah watêk, dan daerah wanua. Diantara wilayah itu ternyata ada suatu daerah khusus yang disebut sebagai daerah sîma sebagai daerah otonom. Pada pembahasan di atas, kedudukan daerah ini ternyata juga penting bagi raja, sehingga diperlukan adanya kitab hukum yang dapat digunakan untuk mengatur bagi pelanggar terhadap ketentuan yang telah ditetapkan oleh raja. Dengan demikian, maka dapat diketahui bahwa kedudukan daerah sîma ini sangat penting sekali artinya bagi raja.
Raja sebagai penguasa sebuah kerajaan memiliki hak-hak istimewa berupa dŗwya haji, gaway haji, dan anugraha. Dŗwya haji adalah hak untuk memperoleh sebagian hasil dari produksi daerah atau pajak. Gaway haji adalah hak untuk mengerahkan tenaga kerja untuk kepentingan umum, seperti pembuatan candi, jalan, dan bendungan. Dalam bahasa kasarnya, gaway haji adalah berhak mengerahkan tenaga rodi, kerja keras tanpa mendapat imbalan sepersen pun. Sedangkan anugraha adalah hak untuk memberikan anugerah kepada siapa saja yang diinginkan oleh raja, terutama bagi yang berjasa kepada raja dan kerajaan (Van Naerssen, 1977:41-43).
Dengan hak istimewanya raja berhak memberikan anugerah kepada suatu daerah menjadi berstatus sîma. Akan tetapi, dengan dikeluarkannya anugerah itu, maka raja menjadi kehilangan dua hak istimewanya yang lain terhadap wilayah itu berupa dŗwya haji dan gaway haji.Dŗwya haji atau pajak yang kemudian penyerahannya dialihkan kepada penerima sîma, sebenarnya merupakan akibat dari adanya pemakaian tanah oleh rakyat. Raja adalah penguasa tertinggi, dan sesuai dengan landasan kosmologis, raja merupakan penjelmaan dewa di dunia (Bambang Sumadio, 1984: 191), sehingga raja sebenarnya menguasai seluruh tanah di wilayah kerajaannya dan segala jenis yang ada di atas tanah itu. Akan tetapi, hak yang dimiliki raja terhadap tanah itu hanya berupa pajak atau sebagian dari hasil bumi.
Pajak selain sebagai pengganti ”uang sewa” terhadap penggunaan tanah, dibayarkan juga karena kerajaan telah memberikan perlindungan kepada rakyat. Keterangan ini diketahui berdasarkan adanya anjuran dari Śrĩ Mahārāja Rajasa Nagara seperti yang tercantum di dalam Kitab Nagarakertagama pupuh LXXXIX:2, yang berbunyi sebagai berikut:
”Negara dan rakyat berhubungan rapat seperti singa dan hutan
Jika desa rusak, negara akan kekurangan bahan makanan
Kalau tidak ada tentara, negara lain mudah menyerang kita
Karenanya peliharalah keduanya, itu perintah saya!”
 Gaway haji yang merupakan pengerahan tenaga kerja dari rakyat untuk kepentingan umum dapat pula dibayarkan dalam bentuk sejumlah uang seperti yang disebutkan oleh Prasasti Linggasuntan 929 M baris 5 yang berbunyi sebagai berikut: ”… gaway mā 2…” (”…tenaga suka rela dihargai sebesar 2 māsa…”). Māsa adalah satuan mata uang emas pada zaman Jawa Kuna. Gaway ini dilaksanakan oleh rakyat sebagai sebagai ungkapan rasa patuh dan kesetiaan kepada penguasanya, karena seorang raja sebagai penguasa kerajaan mempunyai dua ciri di dalam sifat kepenguasaannya, yaitu kemampuan untuk menghasilkan kesetiaan yang bersifat suka rela dan kemampuan untuk memerintah dan memaksakan kepatuhan (April Carter, 1985:12). Segala perintah raja, yang karena dianggap sebagai wakil dewa, betapa pun beratnya tetap dilaksanakan oleh rakyat. Akan tetapi, dengan adanya perubahan suatu daerah menjadi berstatus sîma, maka hak-hak istimewa raja beralih kepada penerima sîma. Meskipun demikian, daerah sîma yang statusnya terlepas dari pengawasan wilayah watak tersebut harus tetap patuh dan mengakui bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan raja (Schrieke, 1977: 21).
Kekuasaan raja yang tinggi ditunjukkan dengan adanya hak istimewa yang dimilikinya, yaitu anugerah. Karena adanya anugerah dari raja, terutama mengenai berubahnya status suatu daerah menjadi sîma, maka rakyat merasa berhutang budi dan merasa terikat terhadap kebaikan raja, sehingga rakyat tidak akan memberontak atau berkhianat kepada raja. Dengan demikian, dengan adanya anugerah, raja dapat memaksakan kehendaknya secara halus kepada rakyatnya agar tetap patuh dan setia kepada raja, karena pada hakekatnya raja adalah seorang rākayang harus selalu bersaing dengan rāka-rāka yang lain untuk menduduki tahta tertinggi di kerajaan (van Naerssen, 1977:41). Dengan adanya kepatuhan dan kesetiaan rakyat yang bersifat suka rela, maka kedudukan raja menjadi semakin kukuh, sehingga meskipun kerajaan mengalami kerugian karena tidak mendapatkan pajak dari daerah sîma, tetapi sebagai imbalannya raja mendapatkan kepatuhan dan kesetiaan dari rakyatnya.
Pada masa Jawa Kuna keberadaan daerah sîma tidaklah sedikit, sehingga dengan adanya daerah-daerah sîma itu penghasilan kerajaan menjadi berkurang. Untuk menetralisir kekurangan pendapatan itu, karena pada abad X M perdagangan mengalami kemajuan yang pesat, maka pihak kerajaan membuat kebijaksanaan baru mengenai arus perdagangan dengan mengadakan pembatasan usaha perdagangan yang dibebaskan dari pajak di daerah sîma. Peraturan itu berisi tentang ketentuan mengenai jumlah maksimalperdagangan yang dikenai pajak. Jika ada pedagang yang jumlahnya melebihi dari ketentuan yang berlaku pada masing-masing daerah, maka kelebihannya dikenai pajak. Dengan demikian, daerah sîma tidak akan terbebas sama sekali dari pajak kerajaan, tetapi menghasilkan pajak baru, pajak perdagangan.


4. KESIMPULAN
Sĩma adalah sebutan bagi suatu daerah yang khusus, daerah yang karena adanya suatu alasan tertentu kemudian mengalami pengalihan penyerahan pajak dan tenaga suka relanya kepada otoritas penerima sĩma, sehingga pajak yang berasal dari daerah sĩma tidak lagi diserahkan kepada kerajaan melalui pejabat-pejabat yang berwenang untuk memungut pajak. Kedudukan daerah itu sangat penting karena berfungsi sebagai daerah yang rakyatnya dapat dipaksa secara halus oleh raja agar tetap patuh dan setia kepada raja, karena pada hakekatnya raja adalah seorang rāka yang harus selalu bersaing dengan rāka-rāka yang lain untuk menduduki tahta tertinggi di kerajaan. Dengan demikian, pengalihan pajak yang terjadi di daerah sĩma bukan menjadi masalah penting bagi seorang raja karena selain mendapatkan loyalitas yang tinggi dari rakyat, raja juga dapat menggali pajak lain yang potensial dari daerah itu.
Melihat kedudukan daerah sĩma pada hasil penelitian di atas, ternyata kondisi daerah otonom pada zaman Kerajaan Mataram Kuna itu pun serupa dengan kondisi yang ada pada zaman sekarang. Meskipun memperoleh kebebasan dalam beberapa hal, tetapi daerah itu justru mendapat pengawasan langsung dari pemerintah pusat.


DAFTAR PUSTAKA
Boechari, 1977, “Candi dan Lingkungannya”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jil. VII, No.2, Jakarta: FS UI, hlm. 91-114.
———–, 1977, “Epigrafi dan Sejarah Indonesia”, Arkeologi, Th. I, No. 2, Jakarta: Lembaga Arkeologi FSUI, hlm. 1-39.
———–,1981, “Ulah Para Pemungut Pajak di dalam Masyarakat Jawa Kuna”, Majalah Arkeologi, Th. IV, No. 1-2, Jakarta: Lembaga Arkeologi FSUI, hlm. 67-87.
Brandes, J.L.A., 1913, “Oud Javansche Oorkonden”, VBG, LX.
Christie, Jan Wisseman, 1982, Pattern of Trade in Western Indonesia: Ninth Through Thirteenth Centuries A.D., Vol. I, Thesis Doctor, London: A University of London School of Oriental and African Studies.
Cohen Stuart, A.B.,1875, Kawi Oorkonden in Facsimile, met Inleiding en Transscriptie, Leiden: E.J. Brill.
Machi Suhadi, 1981, “Status Tanah/Desa Perdikan di Jawa, Suatu Catatan dari Prasasti Kuna”, Analisis Kebudayaan, Th.I, No. 1, Jakarta: FS UI, hlm. 137-143.
——————-, 1983, “Desa Perdikan Tawangsari di Tulungagung”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi, III, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Mardiyanto, 2003, “Pidato Kunci Diskusi Nasional Otonomi Daerah dalam Perspektif Sejarah”, Diskusi Nasional Otonomi Daerah dalam Perspektif Sejarah, Semarang: 28-30 Juli.
Poesponegoro, Marwati Djoenet, eds., 1984, Sejarah Nasional Indonesia, Jild II, Jakarta: Balai Pusaka.
Prasodjo, Tjahjono, 1987, “Prasasti Peradilan: Analisis Struktural dan Tinjauan Pelaksanaan Hukum Jawa”, Skripsi Sarjana, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Sarkar, Himansu Bhusan, 1972, Corpus of the Inscriptions of Java, Volume I dan II, Calcuta: K.L. Mukhopadyaya.
Schrieke, B.J.O., 1975, Sedikit Uraian tentang Pranata Perdikan, Seri Terjemahan, Jakarta: Bhratara.
Staf Jurusan Arkeologi UGM, 1983, Kepurbakalaan Indonesia, Yogyakarta: Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Timbul Haryana, 1980, “Gambaran tentang Upacara Penetapan Sima”, Majalah Arkeologi, Th. III, No. 1-2, Jakarta: Lembaga Arkeologi FSUI, hlm. 35-54.
Tjan Tjoe Som, 1995, “Sumber-Sumber Cina dan Historiografi”, dalam Soedjadmoko, eds., Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Zoetmulder, P.J., 1985, Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang, Cetakan ke-2, Jakarta: Djambatan.
————————, 1982, Old Javanese English Dictionary, The Hague: Martinus Nijhoff, 1982,




[1]prasasti sebagai sumber data sejarah, biasanya ditemukan angka tahun dan bulan yang dimuat dengan lengkap dan tepat, diikuti nama raja dan para pegawai tinggi kerajaan. Keterangan ini dapat memberikan kerangka kronologis untuk penulisan sejarah
[2]Cheng Ho atau Zheng He (Hanzi tradisional:鄭和, Hanzi sederhana: , Hanyu Pinyin: Zhèng Hé, Wade-Giles: Cheng Ho; nama asli: 三宝Hanyu Pinyin: Ma Sanbao; nama Arab: Haji Mahmud Shams) (1371 - 1433), adalah seorang pelaut dan penjelajah Tiongkok terkenal yang melakukan beberapa penjelajahan antara tahun 1405 hingga 1433.
[3]Tantrisme yang kata aslinya ditemukan di abad kesembilan belas Barat berasal dari tantra istilah (menurut bahasa Sansekerta IAST, Devanagari: तन्त्र) adalah seperangkat teks, doktrin, ritual dan metode inisiasi yang difus menembus cabang sebagian besar Hindu, yang tepat definisi dan asal sejarah tetap menjadi bahan perdebatan di kalangan sarjana Barat. Hal ini dinyatakan dalam teks atau Tantra (yang berarti "frame", "chain", jaringan dan kiasan, penggabungan terjadi, tetapi juga sesudahnya, "doktrin", "aturan" dan "buku (doktrinal)") mengungkapkan, menurut legenda , Shiva sendiri terutama untuk manusia yang jatuh dari zaman terakhir, tergantung pada kosmologi Hindu.
[4]adalah sebuah aksara yang berasal dari India bagian selatan. Aksara ini sangat penting untuk sejarah di Indonesia karena aksara ini merupakan aksara dari mana aksara-aksara Nusantara diturunkan.
[5]adalahsebuah partai politikliberalklasikdi Indiadidirikan olehChakravartiRajagopalacharidanNGRangapada bulan Agustus1959.PartaimenentangpandangansosialisNehruviandariPartaiKongresdengan advokasiusaha bebasdanperdagangan bebas, danmenentanglisensi-izin Raj. Pada tahun 1960Rajajidan pemimpinSwatantralainnyamenulistentang mengapaSwatantraPartaiharusdibentukmeski telahbekerja sama denganNehruuntuk memperolehkemerdekaan bagiIndia
[6]Asta Brata merupakan 8 sifat inti seorang pemimpin dalam tradisi Jawa.Sikap yang harus dimiliki oleh penguasa jika ingin rakyat yang dipimpinnya menjadi tentram dan sejahtera.Asta Brata yang dalam terjemahan bebas; delapan ajaran utama tentang kepemimpinan, merupakan petunjuk Sri Rama kepada adiknya yang akan dinobatkan sebagai raja Ayodya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar