MAKALAH
KERAJAAN
SAMUDRA PASAI
(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah SEJARAH
INDONESIA 1500)
Oleh
Maqhfiroh
NIM.
110110301047
JURUSAN
SEJARAH
FAKULTAS
SASTRA UNIVERSITAS JEMBER
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kesultanan Pasai,
juga dikenal dengan Samudera Darussalam,
atau Samudera Pasai, adalah kerajaan
Islam
yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera,
kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.
Belum
begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan
sebagai bahan kajian sejarah.[1]
Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini
bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai, dan ini dikaitkan
dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan
tertera nama rajanya.[2]
Kerajaan
ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik
as-Saleh, sekitar tahun 1267. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah
ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah
ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang
singgah ke negeri ini pada tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal
pada tahun 1521.
B.
RUMUSAN
MASALAH
a.
Pembentukan Awal
b.
Pemerintahan
c.
Perekonomian
d.
Agama dan budaya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PEMBENTUKAN
AWAL
Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan
tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah sebelumnya ia menggantikan
seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser.[3]
Marah Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga
kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun
696 H atau 1297
M.[4]
Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus
Salatin nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua
kawasan yang berbeda, namun dalam catatan Tiongkok
nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo
dalam lawatannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau
Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec
(Perlak), Basma dan Samara (Samudera).
Pemerintahan
Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan
Muhammad Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata
uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai menjadi
salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar
tahun 1326 ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir
dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh
Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di
negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan
penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.
Selanjutnya
pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir
putra Sultan Mahmud Malik az-Zahir, datang serangan dari Majapahit
antara tahun 1345 dan 1350, dan menyebabkan Sultan Pasai terpaksa melarikan
diri dari ibukota kerajaan.
B.
PEMERINTAHAN
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai
terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng
Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang
menghabiskan waktunya sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan
ini tidak memiliki benteng pertahanan dari batu, namun telah memagari
kotanya dengan kayu,
yang berjarak beberapa kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan
ini terdapat masjid,
dan pasar
serta dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut. Ma Huan menambahkan,
walau muaranya besar namun ombaknya menggelora dan mudah mengakibatkan kapal
terbalik.[5] Sehingga
penamaan Lhokseumawe
yang dapat bermaksud teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan
berkaitan dengan ini.
Dalam struktur pemerintahan
terdapat istilah menteri,
syahbandar dan kadi. Sementara
anak-anak sultan baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga
beberapa petinggi kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan
bawahan, dan penguasanya juga bergelar sultan.[6]
Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi bagian dari
kedaulatan Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu
Sultan Mansur di Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan
Samudera sudah menjadi satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap
berpusat di Pasai. Pada masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir,
Lide (Kerajaan Pedir) disebutkan
menjadi kerajaan bawahan dari Pasai. Sementara itu Pasai juga disebutkan
memiliki hubungan yang buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini
menyerang Pasai dan mengakibatkan Sultan Pasai terbunuh.
C.
PEREKONOMIAN
Pasai merupakan kota dagang,
mengandalkan lada
sebagai komoditi andalannya, dalam catatan Ma Huan disebutkan 100 kati lada
dijual dengan harga perak
1 tahil.
Dalam perdagangan Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat
transaksi pada masyarakatnya, mata uang ini disebut deureuham (dirham) yang
dibuat 70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter 10 mm, mutu 17 karat.
Menurunnya peranan kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka
bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Samudera Pasai. Di bawah kekuasaan
Samudera Pasai, jalur perdagangan di Selat Malaka berkembang pesat. Banyak
pedagang-pedagang dari Arab, Persia dan Gujarat yang berlabuh di Pidie, Perlak
dan Pasai. Pada masa raja Hayam Wuruk berkuasa, Samudera Pasai berada di bawah
kendali Majapahit. Walau demikian Samudera Pasai diberi keleluasan untuk tetap
menguasai perdagangan di Selat Malaka.
Belakangan diketahui bahwa
sebagian wilayah dari kerajaan Majapahit sudah memeluk agama Islam. Awal abad
15 M, Samudera Pasai mengirim utusan untuk membayar upeti kepada Cina dengan
tujuan mempererat hubungan diplomatik dan mengamankan diri dari serangan
kerajaan Siam dari Muangthai. Pada masa kekuasaan Samudera Pasai, uang dirham
sudah dipakai sebagai alat tukar menukar, di salah satu sisi uang tertulis
kalimat Sultan yang Adil.
Karena letaknya yang strategis,
di Selat Malaka, di tengah jalur perdagangan India, Gujarat, Arab, dan Cina,
Pasai dengan cepat berkembang menjadi besar. Sebagai kerajaan maritim, Pasai
menggantungkan perekonomiannya dari pelayaran dan perdagangan. Letaknya yang
strategis di Selat Malaka membuat kerajaan ini menjadi penghubung antara pusat-pusat
dagang di Nusantara dengan Asia Barat, India, dan Cina. Salah satu sumber
penghasilan kerajaan ini adalah pajak yang dikenakan pada kapal dagang yang
melewati wilayah perairannya.
Berdasarkan catatan Ma
Huan yang singgah di Pasai tahun 1404, meskipun kejayaan Kerajaan
Samudera Pasai mulai redup seiring munculnya Kerajaan Aceh dan Malaka, namun
negeri Pasai ini masih cukup makmur. Ma Huan ini seorang musafir yang mengikuti
pelayaran Laksamana Cheng Ho, pelaut Cina yang muslim, menuju Asia Tenggara
(termasuk ke Jawa).[7]
Ma Huan memberitakan bahwa kota
Pasai ditidaklah bertembok. Tanah dataran rendahnya tidak begitu subur. Pada
hanya ditanam di tanah kering dua kali dalam setahun. Lada, salah satu hasil
rempah-rempah yang banyak diminati pedagang asing, ditanam di ladang-ladang di
daerah gunung. Berita mengenai Samudera Pasai juga didapat dari Tome Pires,
penjelajah dari Portugis, yang berada di Malaka pada tahun 1513.[8]
Tome Pires menyebutkan bahwa negeri Pasai itu kaya dan berpenduduk cukup
banyak. Di Pasai, ia banyak menjumpai pedagang dari Rumi (Turki), Arab, Persia,
Gujarat, Tamil. Melayu, Siam (Thailand), dan Jawa. Begitu pentingnya keberadaan
Samudera Pasai sebagai salah satu pusat perdagangan, tak mengherankan bila
ibukotanya yang bernama Samudera menjadi nama pulau secara keseluruhan, yaitu
Sumatera.
Sementara masyarakat Pasai
umumnya telah menanam padi
di ladang, yang dipanen 2 kali setahun, serta memilki sapi perah untuk
menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya memiliki tinggi rata-rata 2.5
meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan lantai terbuat dari
bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan rotan, dan di
atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan.[9]
D.
AGAMA
DAN BUDAYA
Samudera Pasai adalah dua kerajaan kembar yakni Samudera dan
Pasai, kedua-duanya merupakan kerajaan yang berdekatan.
Saat Nazimuddin al-Kamil (laksamana asal Mesir) menetap di
Pasai, kedua kerajaan tersebut dipersatukan dan pemerintahan diatur menggunakan
nilai-nilai Islam. Kerajaan Samudera Pasai adalah kerajaan pesisir sehingga
pengaruhnya hanya berada di bagian Timur Sumatera.
Samudera Pasai berjasa
menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok di Sumatera, bahkan menjadi pusat
penyebaran agama. Selain banyaknya orang Arab menetap dan banyak ditemui
persamaan dengan kebudayaan Arab, atas jasa-jasanya menyebarkan agama Islam ke
seluruh pelosok Nusantara wilayah itu dinamakan Serambi Mekah.
Islam merupakan agama yang
dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu dan Buddha juga
turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan
dan Tomé Pires,[10]telah
membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan
Malaka, seperti bahasa, maupun
tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan kesamaan
ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang akrab ini dipererat
oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan raja Malaka sebagaimana
diceritakan dalam Sulalatus Salatin.[11]
Penemuan
makam Sultan Malik as-Saleh yang bertarikh 696 H atau 1297 M, dirujuk oleh
sejarahwan sebagai tanda telah masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad
ke-13. Walau ada pendapat bahwa kemungkinan Islam telah datang lebih awal dari
itu. Hikayat Raja-raja Pasai memang penuh dengan mitos dan legenda namun
deskripsi ceritanya telah membantu dalam mengungkap sisi gelap sejarah akan
keberadaan kerajaan ini. Kejayaan masa lalu kerajaan ini telah menginspirasikan
masyarakatnya untuk kembali menggunakan nama pendiri kerajaan ini untuk
Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Agama Islam masuk ke Indonesia
kira-kira sejak abad ke-7. Salah satu Kerajaan Islam di Indonesia adalah
Kerajaan Samudra Pasai, Islam berkembang pesat di Indonesia dibuktikan dengan
Agama Islam merupakan agama yang mendominasi wilayah Indonesia. Selain itu
sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia termasuk dalam sistem
pemerintahan monarki, karena para penguasa masih ada ikatan keturunan.
B. Saran
Makalah ini diharapkan dapat menjadi
bahan maupun referensi pengetahuan mengenai Kerajaan Islam di Indonesia. Namun,
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan, karena melihat masih banyak
hal-hal yang belum bisa dikaji lebih mendalam dalam makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
T.
Ibrahim Alfian, Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh, Proyek Rehabilitasi
dan Perluasan Museum, Aceh,1979.
Ricklefs, M.C, A History of
Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition, Stanford:
Stanford University
Press,1991.
Hill, A. H., Hikayat Raja-raja Pasai, Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland,
London. Library, MBRAS,1960.
Wicks, R. S., Money, markets,
and trade in early Southeast Asia: the development of
indigenous
monetary systems to AD 1400,
SEAP Publications,1992.
Moquette, Jean Pierre, De Oudste
Vorsten van Samudra-Pase, Rapporten van den
Oudheidkundigen Dienst,
Batavia,1913.
Ferrand, Gabriel, Relations de
voyages et textes geographiques : Arabes, Persan et Turks
relatifs a
l'Extreme-Orient du VIIIe au XVIIIe siecles, traduits, II,1914.
Yuanzhi Kong, Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara,
Yayasan Obor Indonesia,2000.
Cortesão, Armando, The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols,1944.
Ahmad
Rizal Rahim, Sulalatus
Salatin, Jade Green
Publications,2000.
http://www.sylvia.web.id/2012/11/sejarah-kerajaan-samudera-pasai-di-indonesia.
[1]Ricklefs,
M.C., (1991), A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition,
Stanford: Stanford University Press, hlm. 15.
[2]Wicks,
R. S., (1992), Money, markets, and trade in early Southeast Asia: the
development of indigenous monetary systems to AD 1400, hlm 116
[3]Hill,
A. H., (1960), Hikayat Raja-raja
Pasai,
Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, London. Library, MBRAS.
[4]Moquette,
Jean Pierre, (1913), De Oudste Vorsten van Samudra-Pase, Rapporten van
den Oudheidkundigen Dienst, Batavia, hlm. 1-12.
[7] Moquette,
Jean Pierre, (1913), De Oudste Vorsten van Samudra-Pase, Rapporten van
den Oudheidkundigen Dienst, Batavia, hlm. 119.
[8]Hultzsch,
Eugen (1991), South Indian inscriptions, Vol.3. Director General,
Archaeological Survey of India, hlm.12.
[11]Nilakanta
Sastri, Kallidaikurichi Aiyah (1955). The CōĻas. Madras University
historical series ; no. 9. University of Madras. hlm. 211–220.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar