Kamis, 10 Januari 2013

Kepercayaan Jepang pada masa Tokugawa


logo unj.jpg
 Kepercayaan Jepang pada masa Tokugawa


Makalah
(Disusun untuk memenuhi Tugas Sejarah Asia Baru)


Oleh

Roifatul Mahromil Marhamah
NIM 110110301048



FAKULTAS SASTRA
ILMU SEJARAH
UNIVERSITAS JEMBER
2012



KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan dengan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Kepercayaan Jepang  pada masa Tokugawa“.
 Dalam Penulisan makalah ini penulis masih merasa banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun dari segi materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis masih sangatlah minim. Maka dari itu kritik dan saran dari semua pihak sangatlah diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan. dan tidak pula lupa mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya.


                                                                                                                        8  Januari 2013

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
        Dewasa ini kita sering melihat bahkan menggunakan barang-barang elektronik dari yang kecil 
ataupun yang besar, dari yang murah sampai yang mahal dengan merek-merek yang tidak asing lagi 
bagi kita seperti Sony, Toyota, Fuji, Suzuki, dll. Barang-barang dengan merek tersebut sudah biasa 
menghiasi rumah kita mulai dari dapur, kamar mandi, ruang tamu, bahkan kamar tidur.  
    Jepang adalah satu-satunya negara Asia yang memproduksi barang-barang elektronik yang kualitasnya setara dengan Eropa. Sehingga konsumen yang ingin membeli barang-barnag buatan Jepang tidak merasa khawatir terhadap mutunya karena memang terjamin. Perusahaan-perusahaan di Jepang terus saja memperbaiki penampilan barang-barang produksinya hingga mencapai hasil  yang sempurna dengan tujuan untuk memuaskan para konsumen. Dampak
dari meningkatnya permintaan pasar tentu mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi sehingga Jepang terus-menerus menduduki peringkat tertinggi di dunia.  Padahal jika kita membuka lembaran sejarahnya, Jepang adalah negara yang terisolasi secara geografis dan mengisolasikan diri selama kurang lebih 250 tahun (1638-1853) pada zaman Edo yang biasa disebut dengan zaman Shogun Tokugawa.


        Tokugawa berkuasa, negara Jepang menutup diri dari semua orang asing dan pengaruh-pengaruh asing. Bahkan orang Jepang yang berada di luar negeri pun tidak diijinkan pulang ke negerinya sendiri karena pemerintah takut kalau-kalau mereka memasukkan virus agama
Kristen (Reischauer, 1982:86). Hanya orang Belanda yang masih diperbolehkan berdagang di Jepang melalui pulau Deshima yang terletak di depan Nagasaki Zaman Edo (1603-1867) adalah zaman dimana Jepang diperintah keluarga Tokugawa. Disebut zaman Edo karena pemerintahan ke-shogunan Tokugawa waktu itu berpusat di kota Edo (Tokyo)

        Sementara Jepang tenggelam dalam tidurnya yang panjang dalam keterasingan, evolusi bentuk negara modern dan persatuan nasional sedang berlangsung di barat. Lebih dari itu, perkembangan kapitalisme mengakibatkan revolusi industri yang menyebabkan bangsa barat melihat ke luar negeri untuk mencari pasaran bagi hasil industrinya dan untuk sumber-sumbaer bahan baku baru.

         Pada tahun 1853, Komodor Matthew C. Perry dari Amarika Serikat berhasil membujuk Jepang untuk membuat perjanjian persahabatan dan diikuti oleh Rusia, Inggris dan Belanda. Empat tahun kemudian diubah menjadi perjanjian perdagangan dan diikuti oleh Prancis. Kejadian-kejadian tersebut berdampak meningkatkan tekanan arus sosial dan politik yang menggerogoti
fondasi struktur feodal. Selama sedasawarsa terjadi kekacauan besar, sampai

                Sistem feodal keshogunan Tokugawa runtuh pada tahun 1867 dan kedaulatan dikembalikan sepenuhnya kepada kaisar dalam Restorasi Meiji pada tahun 1868. Zaman baru ini disebut zaman Meiji yang berlangsung antara 1868-1912. kaisar Meiji juga dipanggil kaisar Matsuhito. Sebagai pusat pemerintahan maka kota Edo diganti nama dengan Tokyo, dan pada tahun 1869 ibukota dipindahkan dari Kyoto ke Tokyo.
               Masa Meiji merupakan salah satu periode yang paling istimewa dalam sejarah bangsa-bangsa. Di bawah pimpinan kaisar Meiji dengan pemerintahan yang membawa pencerahan dan imajinatif, membantu membimbing bangsa Jepang untuk bergerak maju sehingga dalam hanya beberapa dasawarsa mencapai apa yang di Barat memerlukan berabad-abad lainnya, yakni
pembentukan  suatu bangsa yang modern yang memiliki pendidikan modern, lembaga-lembaga politik modern dengan mencontoh negara-negara barat tanpa harus takut bahwa hasilwesternisasi akan menggoyahkan kepribadian mereka.

Suradjaja (1984:10) menyatakan : Kemajuan Jepang yang dicapai sebagai akibat dari modernisasi selama lebih dari 100 tahun sejak Restorasi Meiji, sudah merupakan
prestasi luar biasa , dimana Amerika dan negara-negara Eropa lainnya mencapai dalam jangka waktu yang lebih lama. Walaupun demikian, karena menjelang akhir zaman Tokugawa,sekelompok samurai intelektualsangat tertarik dengan teori-teori politik Barat yang kemudian menganjurkan perombakan terhadap pemerintahan Bakufu ( pemerintahan keshogunan) dan sistem feodal, maka modernisasi di Jepang
sangat didominasi oleh faham Barat. Seluruh negrinya terjun dengan semangat dan antusiasme ke dalam studi dan pengambilalihan peradaban Barat modern. Kebudayaan Barat pun terus merambah masuk ke negri sakura ini membawa pembaharuan dan pengaruh besar-besaran dalam berbagai bidang kehidupan masyarakatnya. Bebebrapa diantaranya tercermin dalam bidang
pendidiksn,ekonomi.sosial budaya dan lain-lain.  Pendidikan yang dianggap sebagai salah satu jalan yang menjadi dasar kemajuan dan kemakmuran bangsa, berkembang pesat di seluruh Jepang sejak lahirnys Restorasi Meiji.
         Terlebih lagi  setelah sistem feodal runtuh maka kekuasaan penuh kembali kepada Kaisar. Pendidikan yang diumumkan dalam tahun 1890 ,  dipandang sebagai naskah suci  yang meletakkan moralitas pemujaan kepada Kaisar , selalu dengan sikap keras dan sungguh-sungguh. Kedaulatan dinyatakan sebagai bahagian yang mutlak dari kebajikan-kebajikan , menjadi  simbol kewenangan Kekaisaran yang tak pernah berbuat kesalahan . 
Kaiasar dipandang sebagai dewa kebajikan dalam wujud manusia dan kesetiaan kepadanya, sama dengan kesetiaan keagamaan .  Beberapa golongan percaya bahwa seluruh bangsa Jepang mendapat rahmat dari dewa-dewa.Dalam kepercayaan yang ekstrim lagi, pemujaan kepada Kaisar itu mengantarkan kepada kepercayaan umum bahwa bapak bangsa Jepang , dengan kewenangan dewa ? dewa menjadi penguasa  semesta alam.   Dalam tingkat yang berbeda ?beda, cara pandang atau wawasan ini , masuk dalam ajaran , bukan saja ajaran kesetiaan kepada Shinto Negara

melainkan pada semua aliran Shinto, dan dalam beberapa hal pada seluruh pada seluruh bangsa, termasuk badan ?badan keagamaan lainnya. Masyarakat Jepang sadar betul akan arti pendidikan. Karena itu,  sejak awal pengenalan pendidikan Barat, relatif tidak ada masalah dalam menggugah masyarakat Jepang untuk sekolah. Sejak Rertorasi Meiji, diskriminasi dalam masyarakat Jepang secara formal dihapuskan yang imbasnya
      Sampai pada bidang pendidikan yakni setiap orang diberi kesempatan yang sama untuk belajar. Dengan pendidikan moral dan etika  yang tetap menjadi prioritas utama masyarakatJepang juga diajarkan pendidikan militer danilmu pengetahuan lainnya,  seperti ilmu fisika , ilmu kedoktersn , ilmu adminitrasi,  dan lain-lain.
       Sebagai kelanjutan dari usaha dalam rangka menuju masyarakat modern  pemerintah Jepang pada tahun 1872 mulai melembagakan sebuah sistem pendidikan dasar umum. Sistem ini secara eksklusif menggaris bawahi kemampuan membaca, menulis, dan berhitung ( dengan sempoa) yang dimaksudkan untuk memberikan pendidikan populer yang cocok bagi masyarakat modern . Pengaruh Barat yang dalam pembahasan ini disebut-sebut sebagai faham dalam modernisasi masyarakat  Jepang, terlihat daei filsafat dan teknologi yang diajarkan di sekolah ? sekolah hampir seluruhnya dari Eropa. Lagu-lagu yang diajarkan di sekola- sekolah dasar biasanya berasal dari Inggris dan Jerman ( Naoto Sasaski , 1985 : 3). Kemudian pendidikan tinggai
diakselerasikan dengan memanfaatkan tenaga-tenaga asing dari Barat yang dipekerjakan  sebagai guru dan konsultan dengan gaji yang luar biasa besar. 

      Tindakan ini dilakukan seiring dengan menambah jumlah orang Jepang yang pergi ke Negara- negara Barat untuk belajar.  Dalam pengertian bahwa sekalipun tidak pergi belajar ke  Barat , tetapi dapat mempelajari kebudayaan Barat melalui buku- buku berbahasa Inggris , Perancis , Jerman , dan lain-lain . yang diterjemahkan oleh pemuda-pemuda Jepang  ( pada umumnya kaum Samurai ) yang dikirim ke Eropa Barat dan AS untuk mempelajari  keadaan di
sana dan mengeruk ilmu sebanyak mungkin  karena Jepang pada waktu iu  merasa berkepentingan untuk disamakan dengan bangsa-bangsa Barat untuk kelangsungan hidupnya ( Sayidiman S; 1982: 207).  Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang sejauh mana  religi berperan tdalam modernisasi
Jepang periode Restorasi Meiji.

1.2  Rumusan Masalah
1. Religi Jepang pada masa Tokugawa ?
2. Apa  saja religi yang ada di Jepang?
1.3 Tujuan
     Untuk mengetahui lebih jelas tentang religi di Jepang pada masa Tokugawa dan untuk mengetahui sejauh mana religi berperan penting dalam masa Tokugawa.


BAB 2
PEMBAHASAN

2.1  Religi pada masa Tokugawa
            Shogun Tokugawa berkuasa selama 250 tahun sejak tahun 1600. Kekuasaan keshogunan dimulai ketika Tokugawa Ieyasu berkuasa. Kekuasaan mereka berpusat di tokyo. Sementara itu yang seharunya memiliki kekuasaan mutlak secara teori yaitu kaisar bertempat di kyoto. Sejak tahun 1600 Jepang dikuasai oleh klan Tokugawa dan para pengikutnya seperti para samurai sebagai pemegang militer pada masa itu. Meskipun mereka berkuasa, kecemasan akan legitimasi kaisar tetap mereka takuti. Namun pada saat itu kaisar tidak melakukan banyak hal dan karena para Shogun tetap berkuasa selama beratus tahun yang menjadi sejarah panjang bagi tumbuhnya masyarakat Jepang.  
Religi Jepang Pada Masa Tokugawa
            Tahun 1603, Tokugawa Ieyasu diangkat sebagai Shogun yang kemudian membentuk pemerintahan di Edo ( Tokyo), sedangkan Kaisar tetap berada di Kyoto. Shogun yang berasal dari klan Tokugawa ini memerintah Jepang selama 250 tahun. Pemerintahannya juga disebut sebagai “Pemerintahan Periode Edo[1]” (1603-1866).
            Tahun 1633 Tokugawa Iemetsu (Shogun Ketiga) mengumumkan larangan bagi orang Jepang untuk bepergian ke luar negeri dan tahun 1639 mulai menerapkan politik isolasi untuk tidak berhubungan dengan dunia luar, kecuali memberi kebebasan yang sangat terbatas kepada pedagang china dan Belanda di lingkungan pelabuhan Nagasaki saja. Masa Tokugawa ini mulai berkembang ajaran Neo-Confucianisme[2].
            Samurai memiliki hirarki paling tinggi di masyarakat, diikuti oleh kelas petani, kemudian kelas pengrajin (antara lain pembuat senjata pedang dan kerajinan) dan yang terakhir adalah kelas pedagang. Mereka yang sudah menduduki keempat kelas sosial tersebut tidak diperkenankan mengubah status sosialnya, sedangkan penduduk yang macam profesinyatidak termasuk dalam kelas sosial tersebut dianggap sebagai penduduk kelas lima.
            Atas tekanan kaum intelektual Jepang, tahun 1702 pemerintah mengijinkan masuknya kesusasteraan asing dari China, Amerika Serikat dan Eropa (Belanda), dan untuk mengimbanginya semua sekolah di Jepang dalam kurikulumya memberi tekanan pada elemen nasionalisme yang dilandasi oleh ajaran Shintoisme dan  Confucianisme.
Religi Jepang memiliki dua konsep dasar mengenai ketuhana. Yaitu Ruhan sebagai suatu edentitas lebih tinggi yang memlihara, memberikan perlindungan dan cinta. Contoh-contoh untuk mencakup dewa-dewa langit dan bumi dari penganut Konfusius, Amida dan Budha-Budha yang lain, dewa-dewa shinto, selaoin para dewa pelindung lokl dan para nenek moyang. Kategori ini secara perlahan-lahan dan tanpa terasa bergeser menjadi tokoh-tokoh negara dan orang tua yang dalam beberapa hal diperlakukan secara sakral.
            Konsep yang kedua yaitu dia merupoakan dasar daris egala yang ada atau itni terdalam dari realitas. Contoh-contoh untuk ini adalah Tao China, Li dari Neo-Konfusius yang sering diterjemahkan sebagai nalar, dan Hsin hati atau pikiran kalau dikaitkan dengan Li, konsep Budha tentang hakikat Budha, dan istilah kami dalam shinto dalam pengertiannya yang paling filosofis.
            Pandangan tenatng kemanunggalan manusia, alam dan ketuhanan sebagaimana dikemukakan hendaknya tidakk dipandang sebagaimana dikemukakan hendaknya tidak dipandang sebagai suatu identitas statis, melainkan adalah suatu harmoni dalam ketegangan. Rasa syukur seseorang terhadap entitas yang mahatinggi dan mahabaik bukanlah suatu kewajiban yang ringan, tetapi menyangkut pengorbanan langsung dari kepentingan terdalam seseorang atau bahkan hidupnya.
            Ketiga tradsiis religi di atas dikaitkan dengan sejarah masa lalu ketika semua hal dianggap lebih baik dari saat sekarang ini. Bagi pengikut Konfusius masa itu adalah abad paling bijak, bagi kaumm Budha, masa kini atau Mappo adalah masa yang bobrok di mana orang jarang bisa memahami ajaran Budha. Para Shintois pembaharu mengingatkan kepada masa ketika para kaisar memerintah jepang dalam kesederhanaan yang murni. Kepercayaan shinto tidak bersifat Siklis, melainkan satu arah. Hanya dia di antara religi-religi besar tersebut percaya kepada konsep penciptaan walaupun dalam bentuk mitologi yang agak primitif. Oleh orang jepang penganut Shinto, sejarah dipandang sebagai saat berlakunya kehendak para dewa, dan tujuan akhir religi akan tercapai bersama perjalanan waktu dan sejarah nasib rakyat jepang.
             
Organisasi Religius pada Masa Tokugawa
            Pada masa Tokugawa agama kristen dilarang dan orang Jepang diharuskan untuk beragama Budha yang resmi diakui. Padahal agama Budha pada masa itu telah mengalami masa surut sejak tahun 1600. Di dalam tradisi religius yang besar ini terdapat banyak sub-sekte yang berpangkal dari perbedaan-perbedaan doktrinal kecil, pertikaian antar kuil, persaingan para pendiri, dan sebagainya. Dan setiap sekte memiliki kuil utama untuk mengontrol pengaturan administratif setiap sekte. Aspek-aspek struktur sosial Shinto[3] cenderung lebih rumit dibanding yang ada pada Budhisme. Shinto adalah suatu nama yang digunakan untuk merangkum satu keberagaman fenomen. Pertama, siklus tahunan kaum tani pedesaan disebut shinto, walaupun banyak elemen Budha dan China yang masuk dalam agama rakyat ini. Kedua, pemujaan yang luas terhadap dewa-dewa tertentu seperti Jizo atau Inari. Ketiga, mungkin terdapat kultus-kultus yang mempunyai kuil pusat yang dipersembahkan kepada dewa-dewa utama dalam mitologi Shinto.
            Shinto nasional berpusat di sekitar istana dan pribadi kaisar. Ajaran-ajarannya disusun berdasarkan karya-karya “sejarah” yang menggabungkan mitologi nasional dan sejarah awal istana penguasa. Sebagian dari pusat-pusat kultus besar tergabung dalam struktur Shinto nasional, dengan beberapa figur sucinya yang berbeda.

2.2 Religi yang ada di Jepang
       Religi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemerintahan Tokugawa. Pada masa itu sangat banyak keanekaragaman religi yang berkembang dan juga saling mempengaruhi serta berbaur satu sama lain.Misalnya, Konfusianisme dan Shinto banyak meminjam atau mengambil metafisika dan psikologi Budhisme, Budhisme dan dan Shinto telah meminjam etika Konfusius, serta Konfusius dan Budhisme telah sepenuhnya dijepangkan. Dapat dikatakan bahwa religi memberikan kerangka makna bagi nilai-nilai dasar dalam masyarakat Jepang. Namun, perkembangan religi di Jepang tidak sepenuhnya berjalan dengan lancar. Banyak terdapat pertentangan-pertentangan sebagai akibat dari pembauran-pembauran religi tersebut. Berikut akan dijelaskan mengenai perkembangan religi-religi tersebut pada masa Tokugawa.

Konsep Dasar Religi Jepang
            [4]Ada dua konsep dasar religi Jepang mengenai Ketuhanan. Pertama, Tuhan sebagai suatu identitas lebih tinggi yang memelihara, memberikan perlindungan dan cinta. Tindakan-tindakan religius yang ditujukan kepada identitas-identitas ini bercirikan sikap hormat, syukur atas rahmat yang diterima dari mereka, dan usaha-usaha untuk membalas rahmat tersebut. Konsep kedua sedikit rumit, yang mana Tuhan merupakan dasar segala yang ada atau inti terdalam dari realitas. Kegiatan-kegiatan yang ditujukan kepada entitas-entitas ini adalah usaha para pengikut untuk mencapai kondisi menyatu dengan dasar dari segala yang ada dan hakikat realitas ini.
            Konsep berikutnya adalah konsep tentang alam. Konsep ini merangkum kedua aspek sikap terhadap Tuhan tersebut. Alam adalah kekuatan pemelihara yang penuh dengan kebajikan yang harus dihargai manusia dan alam merupakan perwujudan dari segala sumber kejadian. Alam tidaklah terpisah dari Tuhan maupun manusia namun menyatu di dalamnya. Manusia adalah penerima karunia tak terbatas dari Tuhan, alam dan para atasan dan akan tak berdaya tanpa semua karunia tersebut. Konsep-konsep tersebut merupakan inti dari religi-religi yang berkembang pada masa itu.

Perkembangan Religi Pada Masa Tokugawa     
            Ada tiga religi besar pada masa Tokugawa, yakni Shinto, Budha dan Konfusius. Perkembangan-perkembangan ketiga religi ini cenderung kearah rasionalisasi baik di tingkat filosofi maupun di tingkat etika yang pada masi itu dianggap masih primitive. Untuk mempermudah pemahaman, berikut akan dijelaskan secara singkat perkembangan masing-masing religi pada masa Tokugawa :
a.       Shintoisme.
      Shinto adalah salah satu nama yang digunakan untuk merangkum satu keberagaman fenomena. Pertama, siklus pertanian tahunan kaum tani pedesaan disebut Shinto, walaupun banyak elemen Budha dan Cina yang masuk ke dalam agama “rakyat” ini.  Kedua, tidak ada terdapat pendeta khusus atau kelompok pengikut yang terorganisasi. Walaupun demikian nilai-nilai dan aturannya berwujud pada tingkah laku ribuan orang Jepang. Dan ketiga, terdapat kuil-kuil yang bertanggung jawab untuk mengurus upacara-upacara dan doa-doa.
Di awal-awal kemunculannya, Shinto menitikberatkan pandangannya mengenai kesuburan. Oleh karena itu, upacara-upacara doa untuk keberhasilan panen dan syukuran setelah panen menempati posisi yang sangat penting. Upacara-upacara itu juga berfungsi untuk menangkal bahaya, bencana atau wabah dan untuk menyenangkan hati para roh sehingga tetap berdiam di tempat mereka. Hal ini tetap berlanjut hingga pada abad ke-13 mengalami rasionalisasi etika dan filosofi.
Shinto semakin menguat selama Era Tokugawa dan mengalami banyak pembaharuan-pembaharuan. Pembaharuan ini kemudian mulai berpengaruh pada pemerintahan Jepang ketika para Kaisar memerintah dalam kesederhanaan murni.
b.      Budhisme
 Budhisme pada masa-masa awal lebih berkaitan dengan jampi-jampi dan matera serta pemujaan kepada Bodhisatva tertentu yang dipuja secara khusus. Hal ini sebagian masih terbawa hingga ke zaman modern, tetapi paling tidak pada abad ke-12 dan 13 mengalami titik balik yang cenderung membawa Jepang untuk bebas dari aspek magi. Hal ini paling kuat ditunjukkan oleh adanya tiga sekte-sekte besar atau gabungan sekte-sekte yang muncul pada masa itu, yakni Zen, Nichiren dan Jodo atau sekte Tanah Murni.

Pada masa pemerintahan Tokugawa, semua orang Jepang diharuskan untuk menjadi anggota sekte Budha yang resmi sebagai bentuk untuk melawan agama Kristen yang mulai berkembang pesat. Hal ini melibatkan sejumlah besar pendeta Budha dalam struktur control social pemerintahan Tokugawa, dan menjadikan keanggotaan dalam suatu sekte sebagai masalah keyakinan religius. Kenyataan ini juga dikemukakan untuk menjelaskan terjadinya kelesuan umum dan kemandegan yang dialami Budhisme pada masa Tokugawa.  Dapat dikatakan juga pada masa itu gerakan-gerakan religius penting tidak berasal dari kalangan Budha.

c.       Konfusianisme
Konfusianisme Jepang pada dasarnya adalah neo-Konfusianisme, walaupun merangkum bermacam aliran yang berbeda. Konfusianisme tersebut tidak mempunyai struktur campuran, tetapi secara structural serupa dengan aliran-aliran filsafat kuno yaitu, diturunkan dari guru kepada murid dan seringkali secara berkelanjutan  diteruskan dalam lembaga-lembaga pendidikan. Pengaruhnya yang terbesar dapat dilihat di kalangan mereka yang paling terpelajar di lingkungan samurai perkotaan. Selama berabad-abad kepercayaan ini telah  menembus masuk ke dalam  kesadaran dan adat istiadat serta kebiasaan rakyat Jepang. Etika Budha maupun sekte-sekte Shinto pada dasarnya berasal dari Konfusius dan sangat kuat dipengaruhi oleh metafisika neo-Konfusian. Hampir semua gerakan baru yang penting pada masa Tokugawa menunjukkan adanya pengaruh yang kuat dari Konfusianisme.


BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
        Bangsa Jepang dapat menerima ide, falsafah, serta agama dari luar tanpa kehilangan jati diri budaya sendiri karena mereka mampu beradaptasi. Hal ini dapat kita lihat pada era Tokugawa dan Era Meiji, dimana agama Shinto dan Budha dapat saling melengkapi dan hidup berdampingan. Bahkan selama saya melakukan riset ini, saya mendapati fakta bahwa agama Buddha yang ada di Jepang berbeda dengan agama Budha yang dibawa dari China maupun Korea, meskipun seringkali terjadi pasang surut dalam prosesnya.
        Masa atau era Tokugawa merupakan era di mana munculnya ajaran Rakyat yaitu Shintoisme.  ajaran ini banyak memasukkan ajaran Budha dan ajaran Konfusius dalam prakteknya. Hal tersebut karena kuatnya pengaruh ajaran tersebut ketika era Tokugawa. Namun pada tahun 1600 an Budha tidak terlalu diminati namun lama-kelamaan rakyat mulai memandang agama ini. Dua konsep religi jepang yaitu mengenai Tuhan sebagai Entitas yang lebih tinggi dan yang kedua yaitu sebagai dasar dari segalal inti sesuatu yang terdalam.

3.2 Saran
       Seharusnya kita dapat mencontoh jepang walau berbagai aliran masuk tetapi tetap kokoh pada pendiriannya.dan berpegang teguh terhadap falsafah yang mereka punya.


 
DAFTAR PUSTAKA
Bellah,Robert.1992.Religi Tokugawa: Akar-Akar Budaya Jepang.Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama



[1]  Periode Edo adalah masa isolasi dari segala negara kecuali Cina dan Belanda.
[2]  Neo-Confucianisme menekankan pentingnya moral,pendidikan dan hirarki social dalam kalas social.
[3]    merupakan arwah suci yang mengambil perwujudan penting dalam konsep hidup manusia, seperti angin, hujan,    gunung, sungai, dan kesuburan. Manusia yang telah mati juga dapat menjadi Kami., yaitu sebagi Leluhur kami,  Pelindung dan lain-lain. Dewi Amaterasu adalah Kami yang paling penting bagi orang Jepang.
[4]   http://gebypurnama.blogspot.com/2012/11/religi-jepang-masa-tokugawa.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar